"Riwayat hidupnya bagaikan
cerita detektif yang penuh ketegangan," kata Dr Alfian dalam tulisannya,
"Tan Malaka Pejuang Revolusioner yang Kesepian". Muhammad Yamin
menyebutnya sebagai Bapak Republik Indonesia yang dipersamakan dengan Washington
yang merancang Republik Amerika Serikat jauh sebelum merdeka, atau dengan
Rizal-Bonifacio yang meramalkan berdirinya Filipina sebelum revolusi terjadi. Rudolf
Mrazek menyebut Tan Malaka sebagai manusia komplet.
Tapi kenapa gagasannya yang
brilian tidak pernah bisa direalisasikan, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh
pengikut-pengikutnya? Itu bisa terjadi karena, “hatinya terlalu teguh untuk
diajak berkompromi dan punggungnya terlalu lurus untuk diajak sedikit membungkuk,”
kata Hasan Nasbi, penulis buku Filosofi Negara Menurut Tan Malaka.
Ia seorang marxis yang berjiwa nasionalis yang dalam beberapa hal memiliki paradoksalnya sendiri: berpikiran marxis secara total dan bertindak sebagai nasionalis yang radikal. Tan Malaka adalah pejuang yang gigih dan pemikir ulung, betapa pun aktivitas politiknya selalu menimbulkan kontroversi.
Tan Malaka dalam perjuanganyya tampak
hendak menjalankan tesis Trotsky tentang ”revolusi terus-menerus”. Bagi
Trotsky, di sebuah negeri seperti Rusia dan Indonesia—yang tak punya kelas
borjuasi yang kuat—revolusi sosialis harus berlangsung tanpa jeda. Trotsky tak
setuju dengan teori bahwa dalam masyarakat seperti Rusia dan Indonesia revolusi
berlangsung dalam dua tahap: pertama, tahap ”borjuis” dan ”demokratis”; kedua,
baru setelah itu, ”tahap sosialis”.
Bagi Trotsky, di negeri yang
”setengah-feodal dan setengah-kolonial”, kaum borjuis terlampau lemah untuk
menyelesaikan agenda revolusi tahap pertama: membangun demokrasi, mereformasi
pemilikan tanah, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Maka kaum proletarlah
yang harus melaksanakan revolusi itu. Begitu tercapai tujuannya, kelas buruh
melanjutkan revolusi tahap kedua, ”tahap sosialis”.
Tapi Tan bukanlah seorang gegabah
dalam menjalankan revolusinya, ia tak turut serta dalam pemberontakan yang dimotori PKI dan tokoh Sarekat Islam pada
1926, ia punya alasan kuat kenapa dia tak setuju pemberontakan itu. Hal
tersebut telah lebih dulu ditulisnya dalam brosur Massa Actie. Menurut
Tan, pemberontakan yang dinyalakan oleh segelintir orang anarkis hanyalah
impian seorang yang sedang demam. Mungkin Tan hendak mengatakan bahwa sebuah
revolusi untuk kemerdekaan tak bisa dilakukan secara serampangan. Butuh
dukungan situasi obyektif sebagai prasyarat bagi lahirnya revolusi itu sendiri.
Ia menganjurkan pemboikotan terhadap industri-industri milik kaum imperialis
jauh lebih baik daripada langsung melancarkan pemberontakan tanpa persiapan
yang matang.
Mungkin Tan benar. Pemberontakan
itu sendiri bubar di tengah jalan. Partai hancur sekali pukul. Pemimpin
pergerakan banyak ditangkapi. Gerakan pun melemah. Namun pemberontakan itu
sendiri menjadi salah satu pendorong bagi gerakan selanjutnya dalam bingkai
sejarah revolusi di Indonesia. Pemberontakan 1926, betapa pun mengalami kegagalan,
turut mematangkan kondisi obyektif sebagai prasyarat terjadinya revolusi di Indonesia.
Tan juga menyuarakan revolusi
berpikir bagi masyarakat Indonesia, ia mendesak revolusi pemikiran dan
pendidikan di Indonesia karena ini merupakan hal yang mendesak menjelang
kemerdekaan Republik. “Kemerdekaan yang dicapai melalui revolusi nasional, yang
menentukan batas-batas politik sebuah negara, harus segera diikuti oleh
revolusi alam pemikiran masyarakat Indonesia dari logika mistika ke cara
berpikir rasional yang mengandalkan ilmu bukti” Katanya. Tan menyadari masyarakat agraris seperti di
Jawa akan selamanya terbelenggu oleh dirinya sendiri selama tidak bisa
membebaskan diri dari waham-waham takhyul. Kemajuan sebuah bangsa dimulai
ketika bangsa itu merdeka 100 persen dan berani menggunakan akal pikiran yang
logis dan rasional.
Pemikiran Tan ini memang senafas
dengan Immanuel Kant, pemikir zaman Aufklaerung yang mengatakan bahwa pembebasan
manusia dari ketidakdewasaan yang diciptakannya sendiri. Ketidakdewasaan adalah
ketidakmampuan manusia untuk memakai pengertiannya sendiri tanpa pengarahan
orang lain.
Sapere Aude! Itulah motto zaman pencerahan yang membebaskan warga
Eropa dari sebuah zaman yang diwarnai kegelapan akal budi.
Tapi, memang sejak Agustus 1945,
Tan Malaka berubah menjadi makhluk legenda. Ia muncul menghilang bagaikan
titisan dewa.
Karena keteguhan sikapnya dan
aksi frontal dalam menentang sesuatu hal yang menurutnya tidak ideal, ia
diperlakukan sebagai onak dalam daging bagi kelompok - kelompok yang
berseberangan dengannya. Dan, kejadian memilukan itu terjadi di Selopanggung,
19 Februari 1949. Dor! Sebutir peluru menghabisi riwayatnya. Nyawanya melesat.
Namun sebelumnya dia telah berwasiat, “di dalam kubur suaraku akan terdengar
lebih keras!”
Dengan segala kekurangannya, Tan
Malaka adalah manusia komplet: pemikir tangguh dan pejuang yang ulet. Ia
menggiring masyarakat Indonesia kedalam jurang kebebasan berfikir, ia melakukan
pembebasan bagi mereka yang terhina dan lapar, sang pahlawan pun akhirnya mati.
Kini kita mengerti, revolusi tak pernah sama dengan dongeng yang sempurna.
No comments:
Post a Comment