Sunday, August 21, 2011

Nasionalisme


Desember  1817, Thomas Matulessy, atau yang lebih flamboyan dengan sebutan Kapitan Pattimura, digantung di benteng Victoria, ia menggadaikan jiwanya untuk sebuah harapan : “Indonesia Merdeka”

Terkadang saya berpikir, apa gerangan yang ada dalam pikiran Kapitan Pattimura beberapa saat sebelum digantung. Kadang-kadang saya ingin membayangkan, ia menyebut nama ”Indonesia” di bibirnya, atau ”Indonesia merdeka”, tapi tentu saja ini satu imajinasi klise, dan sebab itu tiap kali muncul cepat-cepat saya stop. Bukan mustahil ia ketakutan di depan algojo pasukan pendudukan Belanda itu. Atau ia pasrah? Yang agaknya pasti, beberapa puluh menit, atau beberapa puluh detik kemudian, seluruh ketakutan (atau sikap pasrah, atau jangan-jangan kecongkakan yang tampil seperti keberanian) pun punah: Tali itu membekap lehernya. Jantung berhenti berdetak, ia roboh, tak akan pernah berjuang lagi.


Semua berkabung, para pengikut Kapitan Pattimura, keluarganya atau bahkan musuhnya. Mungkin, semua yang dulu berkabung kini dapat tenang, Kapitan Pattimura tidak sia – sia, ia telah mengajarkan kepada kita semua, bahwa keberanian dan rasa cinta yang mendalam terhadap tanahnya, Indonesia, melahirkan sebuah harapan yang akan menggerakan batin “kita” atau mungkin batin Kapitan Pattimura sendiri : “Harapan untuk Indonesia yang Lebih Baik”. Bisa saja dulu Kapitan Pattimura, “melacur” kepada pasukan pendudukan Belanda, ia menyerah dan bekerja sama, namun semua itu tak pernah terwujud, Kapitan Pattimura “Sang Putera Kusuma Bangsa” itu memberi pesan tersirat kepada kita yang membaca kisahnya kini untuk berhenti menjual kehormatan diri, keluarga, dan bangsa untuk sebuah alasan klise : “harta”.

Kini saya mencoba mengerti kenapa Kapitan Pattimura memilih untuk membiarkan dirinya digantung oleh serdadu Belanda, Ia mungkin sudah tahu bahwa takdir hidupnya akan seperti itu, atau lebih baiknya mungkin ditembak mati. Ia pernah mengalami penjajahan dari Inggris dan Belanda, ia bertempur, berdarah, tertangkap, dan berusaha menyerahkan segalanya. Adakah ia ikhlas ? Tak ada yang tahu, tapi yang pasti selama hidupnya, ia tak pernah mengharapkan sebuah gelar “Pahlawan Nasional” dari perjuangannya, ia juga tak pernah mengeluk – elukan dirinya sebagai seorang “Pejuang Republik”. “Indonesia” mungkin hanya itulah sebuah kata yang terus ada dalam sanubarinya.

Barangkali bagi pejuang masa itu—yang terlibat langsung dalam pergerakan nasional sejak awal abad ke-18—”Indonesia” sudah ada dengan sendirinya, hadir hidup, dan mekar dalam sanubari mereka. Atau kata ”Indonesia” dengan sendirinya sebuah perlawanan bagi kata ”Hindia Belanda”. Karena setiap saat dalam kisah perjuangan masa itu itu adalah perlawanan, kata ”Indonesia” sudah tersirat ketika orang siap masuk penjara. Atau dibuang. Atau ditembak mati.

|||
Kini, Indonesia telah masuk ke sebuah “lorong” yang disebut sebagai abad 21, Indonesia telah merdeka. Saya dibesarkan oleh keluarga saya dengan pemikiran praktis : mereka harus makan dan bersekolah. Hampir hanya itu. Dalam percakapan keluarga kami sama sekali tak ada pesan untuk cinta tanah air. Tapi saya tumbuh, dan saya kira juga saudara-saudara sekandung saya, dengan ingatan tentang heroisme pejuang kemerdekaan —dan bersama itu, diam-diam, ”Indonesia” pun menongkrongi diri kami, melibatkan kami. Artinya jadi sangat berarti. Setidaknya saya tak bisa membayangkan diri saya hidup tanpa pertautan dengan ”Indonesia”.

Saya yakin, saya tak sendirian merasakan ini. Saya tak akan bisa merumuskan dengan fasih apa arti ”Indonesia” bagi saya. Tapi saya melihat teman-teman saya yang tanpa merumuskan apa pun berdiri dengan tegap dan penuh keyakinan menyanyikan lagu Indonesia Raya seolah menunjukan bahwa ia rela melakukan segalanya untuk Indonesia. Saya melihat para  Pecinta Alam yang mendaki gunung memasang bendera merah-putih kecil di ransel mereka. Saya mengenal beberapa teman saya—meskipun tak menyukai apa saja yang ”politik”—berkaca-kaca matanya ketika mendengar Ibu Pertiwi sedang “muram”.

Apa yang membuat mereka  dan saya demikian? Mungkin karena tanah air adalah ingatan dan harapan yang tumbuh dan mengiringi kehidupan kita : kuning padi yang terkenang, harum rempah yang membekas, deras sungai yang tak bisa dilupakan, suara ayah yang memuji, lagu ibu yang sejuk, batuk kakek, dan cerita-cerita kanak yang mengendap dalam kesadaran. Juga harapan: rumah kelak akan dibangun, anak-anak akan beres bersekolah, karier akan dicapai, menikah dengan orang yang paling dicintai. Juga harapan akan melakukan sesuatu yang berarti.

Tapi tidak semua dari kita sama, tentu saja ada mereka yang menolak itu semua—atau tak merasa terpaut dengan tanah air mana pun. Saya kira, mereka yang sering mengibarkan bendera “Bintang Kejora” di tanah Papua itu adalah contoh yang baik : mereka bergerak dari satu tanah, ke tanah lain mereka tak bertanah air, mereka merasa tanah air ini, yang sempat ia cintai, telah “pergi”, tanah ini tak peduli pada mereka yang kelaparan. Harapan akan kuning padi, harum rempah, dan segalanya yang telah lewat kini lenyap. Ia hanya ingin punya tanah sendiri, tanah yang mereka kelola sendiri dengan kesadaran untuk lepas dari Republik demi penghidupan yang lebih baik.

Maka tak heran jika dalam semangat cinta tanah air, tersirat sebuah paradoks: sesuatu yang besar dan berbeda ada di dalamnya. Sebab sebuah rasa cinta tanah air pada dasarnya seperti hantu, ia samar dan tak terjamah, tapi bisa merumuskan dirinya sendiri. Namun, pada akhirnya bukanlah sebuah definisi yang dibutuhkan, melainkan sebuah hasrat. Bangsa akan terlahir jika ada ”hasrat buat bersatu”, tapi seperti halnya tiap hasrat, ia tak akan sepenuhnya terpenuhi dan hilang. Hidup tak pernah berhenti kecuali mati, nikmati prosesnya, karena sebuah Bangsa yang baik terbentuk dari sebuah proses, jangan takut dengan proses itu meskipun terkadang harapan nyaris hilang, seperti kata pepatah lama : “Coba lagi, gagal lagi, gagal dengan lebih baik lagi”.

No comments:

Post a Comment