Friday, August 12, 2011

Soe Hok Gie

Soe Hok Gie, saya dengar nama ini pertama kali pertengahan tahun 2008 dari perbincangan antara kakak saya dan temannya di beranda rumah kami. Tidak terlalu menarik, Soe Hok Gie, atau yang kemudian lebih terkenal dengan sapaan Gie bukanlah seorang tokoh “superstar” Republik macam  Bung Karno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, H.O.S Tjokroaminoto, atau bahkan tokoh PKI Dipa Nusantara Aidit yang malang melintang di buku pelajaran sekolah. Gie tidak terlalu menarik bagi saya, dia kalah oleh zona nyaman yang saya miliki saat itu.


|||
Dua tahun berselang, Gie kembali hadir dengan sosok yang lebih nyata, entah kenapa ada sebuah buku “Catatan Seorang Demonstran” yang merupakan buku harian Gie, di kamar saya, buku yang konon katanya wajib dimiliki oleh mahasiswa pergerakan periode 90-an. Saat itulah keakraban datang, Gie datang dengan ironinya sendiri, dia bukanlah Soekarno yang hadir dengan marhaenisme nya, atau Sjahrir yang hadir dengan sosialisme nya, atau mungkin  Musso dengan semangat Revolusi Kiri nya. Gie adalah mahasiswa Universita Indonesia biasa dari angkatan ’66 yang turut andil dalam munurunkan rezim orde lama milik Soekarno, dia bukan dedengkot Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) macam Akbar Tandjung ataupun Cosmas Batubara, Gie juga bukan jagoan dari Organisasi Ekstra manapun macam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) ataupun Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), atau dapat disebut Gie sebagai manusia independen disaat teman – teman nya memilih untuk masuk dan berjuang di bawah panji golongan nya masing – masing.

|||   
Selama hidup di bumi 27 Tahun kurang 5 hari, Gie tidak pernah mengajarkan hal yang baru, dia menembus zaman hingga abad ini karena keberaniannya bersuara, kejujurannya, dan serta komitmennya yang kukuh pada prinsip-prinsip demokrasi dan humanisme universal, sesuatu yang telah ada sejak dulu, sesuatu hal yang sama tuanya dengan gunung dan bukit – bukit. Itulah yang dia miliki, hal kecil yang mungkin tidak kita miliki kini. Gie begitu peduli pada bangsa ini, dia sadar ada yang salah dengan Indonesia pada masa itu, dia menyadarkan kepada yang lain bahwa Soekarno bukanlah Dewa Khresna yang selalu benar, Soekarno bisa salah, bisa dikritisi dan harus diluruskan.

Saya bayangkan Gie di surga, saya bayangkan ia agak sedih, ia yang di umurnya masih ingin naik gunung, menonton film, dan berdansa dengan teman – temannya, tapi disini, di Indonesia, ada yang ingin ia stop, sebuah rezim otoritarian, karena itulah ia memaknai sebuah kata “cinta tanah air”, dia sadar, Indonesia bukan hanya sepotongan geografi atapun selintasan sejarah, tapi Indonesia, juga merupakan sebuah panggilan. 

Perjuangan untuk meluruskan apa yang menurut kata hatinya salah dilakukan Gie dengan turun ke jalan dan tentunya dengan menulis, Gie yang sejak kecil membaca karya – karya  dari Pramoedya Ananta Toer tentu memahami apa yang dikatakan Pramoedya “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” dan itu terbukti kini, Gie melintasi zaman, dia dianggap inspirator bagi sebagian mahasiswa kini, atau lebih ekstrem ; Soe Hok Gie adalah teman yang tidak kita kenal.

Gie memang tidak selamanya benar, tapi setidaknya dia selalu jujur atas apa yang dia suarakan, sebuah rasa kecewa saat melihat ”realitas yang tak bermutu dari dunia kita”. Ia kecewa bahwa dirinya ikut serta di kancah realitas itu “Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi, karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan” tulisnya. ”Mereka golongan tua, semuanya pemimpin pemimpin yang harus ditembak di lapangan banteng”. Rasanya ia betul. Saya kira ia bahkan bisa juga menggugat jutaan orang Indonesia lain yang senantiasa mengangguk atas apa yang dilakukan Soekarno - hingga Soekarno terjerembab dalam gaya feodal Raja – raja Jawa dalam memerintah.

Soe Hok Gie, saya membayangkan kekecewaanya karena ia gagal dalam revolusi ‘66, ia tentu menyadari, Revolusi itu seperti puisi, revolusi punya saatnya sendiri untuk lahir. Ia buah yang panas dari kemarahan yang otentik dan antagonisme yang mendalam. Revolusi adalah sebuah hal yang tak kembali jika telah terlaksanakan, kita tidak bisa kembali ke masa sebelum revolusi, seperti revolusi ’45 saat kita merdeka, kita tidak bisa kembali lagi. Saya melihat Gie di surga, ia tertunduk karena telah menyerahkan rezim otoritarian ke rezim otoritarian lagi, rezim Jenderal Soeharto, dia sadar ada yang salah.  Seharusnya “revolusi” sebagai langkah perubahan radikal bukan hanya disertai dengan “aksi massa” tapi juga harus berkait dengan teori atau gagasan – gagasan yang tak cuma hadir dari batok kepala, tapi juga benturan dengan keadaan, keadaan Indonesia. Ia tertunduk, puluhan tahun berikutnya, Rakyat Indonesia kembali melakukan “perubahan radikal”, menurunkan rezim otoritarianisme Jenderal Soeharto, persis seperti dulu yang ia lakukan, revolusi ’66 gagal baginya.

“Ketika rezim otoritarian berhasil diturunkan, kita, mahasiswa harus kembali ke bangku kuliah”. Gie telah mengingatkan, bahwa kita tidak boleh menjadi rampok dengan bergabung ke rezim, dan kata – katanya kembali diacuhkan teman - temannnya, Gie kesepian, berjuang sendiri sementara temannya yang lain foya – foya bersama rezim yang baru dan mengulangi kesalahan rezim sebelumnya. Gie kembali melintasi zaman, kata – katanya diacuhkan, kemarin saya menyaksikan dari sebuah kotak berwarna yang disebut oleh manusia abad ini sebagai televisi, Hermawan Sulistyo, pengamat LIPI dan aktivis ’98, mengatakan hal yang tak jauh berbeda, “Seharusnya, saat revolusi 98 terjadi, kita kembali bekerja, menulis, tidak masuk sistem, tapi hal yang lain terjadi, ini perampokan berjamaah”.

Nada kekecewaan hadir dari mereka yang dulu berjuang, perjuangan mereka, kembali menjadi ombak yang gagal menyentuh pantai. Harus ada yang di koreksi, mungkin kita selama ini hanya memahami sebuah Indonesia yang “harus”, bukan sebuah Indonesia yang “hendak”. Kita harus mencari jawabannya karena itu akan menentukan hidup kita kelak. Sebuah “Indonesia” yang masih bercita-cita atau sebuah “Indonesia” yang tanpa cita-cita? Sebuah “Indonesia” yang pandai bernegosiasi atau sebuah “Indonesia” yang bagaikan preman, yang menangguk untung dari kekerasan? Sebuah “Indonesia” yang percaya kepada hak-hak rakyat atau sebuah “Indonesia” yang sedang hendak menampik demokrasi? Sebuah “Indonesia” yang patut dibanggakan atau sebuah “Indonesia” yang bahkan oleh bangsanya sendiri berhenti diacuhkan?  

|||
Gie memang pergi saat belum melakukan banyak hal, dia mati didekap racun Mahameru puncak Gunung Semeru. Andai saja kekuatan emosional Gie lebih kuat, dia tidak akan selalu merasa kesepian, atau ketika dia merasa sepi dia akan “berlari” ke keramaian, bukan lari ke gunung, andai saja dia seperti itu, mungkin dia sekarang masih hadir disini, mungkin sebagai seorang akademisi, pengamat politik, atau mungkin anggota dewan kehormatan suatu partai seperti teman seperjuanganya dulu. Tapi dalam arti yang sangat nyata saya sadar bahwa kepergian Gie dalam usia muda menandakan kebesarannya sebagai seorang manusia. Gie, pergi saat tugas belum selesai, dia bukan Yudhistira atau Bhisma, Gie mungkin Gatotkaca yang tewas sebelum Bharatayudha usai.

Kita memang tak perlu mengkultuskan atau menjadi sama dengan Gie,  kita harus terjun, hanyut dan kadang berenang dalam pengalaman, kita harus berada dalam perbuatan, dalam merenung & merasakan dalam laku kita sendiri, dengan jasad dan raga kita sendiri. Soe Hok Gie mungkin gagal dalam revolusinya tapi ada satu hal yang perlu kita cari, atau dapat saya katakan seperti ini ”Kita hanya boleh percaya kepada hidup yang menari—yang menemukan, menemukan, menemukan….”  

No comments:

Post a Comment