Wednesday, October 17, 2012

Surat Terbuka Untuk Reza A. Bhaktinagara


        Sdr Reza,

Saya yakin, hari ini adalah hari yang riuh bagi anda. Hari dimana anda berjibaku dengan panas, kemudian digiring ke kantor polisi, setelah itu semua, anda masih harus mengahadapi suara – suara yang berbeda atas apa yang hari ini anda lakukan. Tentu sangat melelahkan bagi anda, tapi saya yakin anda senang melakukannya, seperti yang anda tulis di account twitter anda :

@Reza_a_b : @DimasAnomN ah, ngadepin tukang #nyinyir mah gak usah wibawa2an... Sy gak peduli.. Biar semua tau & belajar..
Anda ingin semua tau dan belajar, tentu saya harus mengucapkan terima kasih untuk itu. Saya sungguh tidak mempersalahkan jika anda ingin mendemo siapapun, entah itu Prabowo, SBY, ataupun Boediono. Ya, nama terakhir yang saya sebutlah yang membuat saya menulis surat ini. Sejujurnya saya jengah melihat komentar anda tentang Boediono :
@reza_a_b : Katanya marhaenis giliran ada agen neolib dtng diem aja. Giliran ada yg gerak dgn konsekuensi perjuanggannya malah #nyinyir.. Cupu.
Saya yakin, yang anda maksud agen neolib adalah Boediono. Saya tak akan mempertanyakan lagi apa itu Neo-Liberalisme kepada anda,  atau bagaimana  Neo-Liberalisme dilihat dari  perspektif filosofis dan juga sosio-historis, atau anomali dalam Neo-Liberalisme sendiri. Saya yakin anda paham.  Tapi, sejak kapankah Boediono dilantik oleh “Neo-Lib” sebagai “agen” mereka sehingga anda membencinya ?  atau  sejak kapankah Boediono mencoba menghancurkan Republik yang mungkin ia cintai, sehingga anda mengungkapkan kata “Agen Neolib” dengan penuh benci ?

Anda tentu paham, sejarah politik republik ini adalah sejarah pelabelan manusia. Dulu era Soekarno banyak orang diasingkan karena dicap sebagai “kontra-revolusioner”, Soeharto mempenjarakan ribuan orang karena dituduh “komunis”, dan puluhan tahun setelah itu, anda melakukan itu juga dengan meringkas Boediono sebaga “Agen neolib”. Sungguh,  Liberalisme bagi saya adalah paham yang mulia, ia muncul untuk melawan otoritarianisme gereja, melawan kesewenang – wenangan, ia mempercayai bahwa setiap manusia ingin hidup merdeka, tak dikekang. Paham, apapaun jua, adalah ruang hampa, mengintrepretasikannya ke dunia nyata adalah tugas kita, manusia. Dan, semua manusia bisa jadi jahat untuk itu, tak hanya mereka yang liberalis, tapi juga mereka yang komunis, atau marxis, atau juga mereka yang beragama. Semua bisa jadi jahat, Reza. Apapun ideologinya. Jika Boediono salah di mata anda dan teman sekalian, hakimi rekam jejaknya, bukan neo-liberalismenya.

Tapi saya memaklumi, jika kebanyakan orang di Indonesia, termasuk kalangan cendekiawan seperti anda, masih mengartikan liberalisme secara negatif. Ini merupakan pengaruh sejarah. Sebagian  karena masyarakat Indonesia masih berada dalam kompleks agraris yang bersifat komunal—dan tidak ada masyarakat agraris yang liberal. Lihatlah kehidupan di pedesaan. Kecenderungan untuk ikut campur masalah orang lain, sibuk untuk mengatur masalah orang lain—atau bahasa kerennya: paternalistik—luarbiasa kuatnya.

Saya yakin anda mengerti, bahwa kita juga punya masalah historis. Indonesia lahir dari proses penentangan kolonialisme yang sering dikaitkan dengan kapitalisme, liberalisme, dan sebagainya. Kebanyakan pendiri negara kita adalah orang-orang sosialis-nasionalis; itu merupakan produk sejarah yang unik pada awal dan pertengahan abad ke-20. Kalau Indonesia lahir pada abad ke-21 tentunya akan berbeda;  tapi kebanyakan negara Dunia Ketiga lahir pada pertengahan abad ke- 20, ketika hak asasi manusia, liberalisme, sedang didiskreditkan di beberapa belahan dunia. Tapi itu semua adalah masalah masa lalu. Sekarang justru arah dan kecenderungannya sudah berbalik. Mau tidak mau, sekarang ini kita dipaksa untuk menjadi semakin liberal, justru ide yang ingin melawan ide liberalismelah yang terpuruk, baik negara komunis maupun negara etatis. Itu merupakan bukti bahwa mereka tidak mampu memberikan alternatif atas sistem ekonomi liberal.

|||

Sebagai seorang mahasiswa biasa, saya ingin bertanya pada anda, Presiden, terkait berita yang saya baca tadi siang di  suaramerdeka.com saya membaca sebuah berita, tentang yang anda dan teman anda lakukan hari ini :
"Kami menolak Boediono datang ke Undip karena dia merupakan salah satu tersangka kasus Century," kata korlap aksi, Muhammad Ngadibullah Bangun.
Saya ingin bertanya, benarkah korlap anda mengatakan hal seperti itu ? atau ini hanya rekaan media ? Jika iya, tentu korlap anda lupa membaca berita. Boediono sama sekali belum menjadi tersangka, memang ia diduga bertanggung jawab atas kasus itu karena waktu itu ia menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia, anda tentu memahami, bahwa status tersangka seseorang hanya dapat diputuskan di meja hakim. Bukan diotak para politisi picik yang memainkan isu atas kasus ini, juga bukan diputuskan diotak korlap anda.

|||

Tentu, disini saya menolak anda mencap Boediono sebagai seorang “agen neolib”, bukan karena saya anaknya sehingga harus membela dia. Tapi sesungguhnya, mendefinisikan seseorang sebagai seorang neolib bukan pekerjaan mudah. Saya harap (dan saya harap anda juga berharap) setelah kejadian ini kita tidak lagi membenci seseorang  atas dasar  ‘Marxis’, ‘Sosialis’, ataupun ‘Liberalis’. Semua itu mungkin penting, tapi semua itu adalah hal lumrah, tidak mempesona. Karena itu, tak perlulah kita hakimi seseorang atas dasar itu. Kitamemang butuh banyak kritik bagi Republik, tapi setiap kritik harus dilandasi keadilan, setidaknya sejak dalam pikiran.

No comments:

Post a Comment