Sdr Reza,
Saya yakin, hari
ini adalah hari yang riuh bagi anda. Hari dimana anda berjibaku dengan panas, kemudian
digiring ke kantor polisi, setelah itu semua, anda masih harus mengahadapi
suara – suara yang berbeda atas apa yang hari ini anda lakukan. Tentu sangat
melelahkan bagi anda, tapi saya yakin anda senang melakukannya, seperti yang
anda tulis di account twitter anda :
@Reza_a_b : @DimasAnomN ah, ngadepin tukang #nyinyir mah gak usah wibawa2an... Sy gak peduli.. Biar semua tau & belajar..
Anda ingin semua
tau dan belajar, tentu saya harus mengucapkan terima kasih untuk itu. Saya
sungguh tidak mempersalahkan jika anda ingin mendemo siapapun, entah itu Prabowo,
SBY, ataupun Boediono. Ya, nama terakhir yang saya sebutlah yang membuat saya
menulis surat ini. Sejujurnya saya jengah melihat komentar anda tentang
Boediono :
@reza_a_b : Katanya marhaenis giliran ada agen neolib dtng diem aja. Giliran ada yg gerak dgn konsekuensi perjuanggannya malah #nyinyir.. Cupu.
Saya yakin, yang
anda maksud agen neolib adalah Boediono. Saya tak akan mempertanyakan lagi apa
itu Neo-Liberalisme kepada anda, atau
bagaimana Neo-Liberalisme dilihat dari perspektif filosofis dan juga sosio-historis,
atau anomali dalam Neo-Liberalisme sendiri. Saya yakin anda paham. Tapi, sejak kapankah Boediono dilantik oleh “Neo-Lib”
sebagai “agen” mereka sehingga anda membencinya ? atau sejak
kapankah Boediono mencoba menghancurkan Republik yang mungkin ia cintai,
sehingga anda mengungkapkan kata “Agen Neolib” dengan penuh benci ?
Anda tentu
paham, sejarah politik republik ini adalah sejarah pelabelan manusia. Dulu era
Soekarno banyak orang diasingkan karena dicap sebagai “kontra-revolusioner”,
Soeharto mempenjarakan ribuan orang karena dituduh “komunis”, dan puluhan tahun
setelah itu, anda melakukan itu juga dengan meringkas Boediono sebaga “Agen
neolib”. Sungguh, Liberalisme bagi saya
adalah paham yang mulia, ia muncul untuk melawan otoritarianisme gereja,
melawan kesewenang – wenangan, ia mempercayai bahwa setiap manusia ingin hidup
merdeka, tak dikekang. Paham, apapaun jua, adalah ruang hampa,
mengintrepretasikannya ke dunia nyata adalah tugas kita, manusia. Dan, semua manusia
bisa jadi jahat untuk itu, tak hanya mereka yang liberalis, tapi juga mereka
yang komunis, atau marxis, atau juga mereka yang beragama. Semua bisa jadi
jahat, Reza. Apapun ideologinya. Jika Boediono salah di mata anda dan teman
sekalian, hakimi rekam jejaknya, bukan neo-liberalismenya.
Tapi saya
memaklumi, jika kebanyakan orang di Indonesia, termasuk kalangan cendekiawan
seperti anda, masih mengartikan liberalisme secara negatif. Ini merupakan
pengaruh sejarah. Sebagian karena
masyarakat Indonesia masih berada dalam kompleks agraris yang bersifat komunal—dan
tidak ada masyarakat agraris yang liberal. Lihatlah kehidupan di pedesaan.
Kecenderungan untuk ikut campur masalah orang lain, sibuk untuk mengatur
masalah orang lain—atau bahasa kerennya: paternalistik—luarbiasa kuatnya.
Saya yakin anda
mengerti, bahwa kita juga punya masalah historis. Indonesia lahir dari proses
penentangan kolonialisme yang sering dikaitkan dengan kapitalisme, liberalisme,
dan sebagainya. Kebanyakan pendiri negara kita adalah orang-orang
sosialis-nasionalis; itu merupakan produk sejarah yang unik pada awal dan
pertengahan abad ke-20. Kalau Indonesia lahir pada abad ke-21 tentunya akan
berbeda; tapi kebanyakan negara Dunia
Ketiga lahir pada pertengahan abad ke- 20, ketika hak asasi manusia,
liberalisme, sedang didiskreditkan di beberapa belahan dunia. Tapi itu semua adalah
masalah masa lalu. Sekarang justru arah dan kecenderungannya sudah berbalik. Mau
tidak mau, sekarang ini kita dipaksa untuk menjadi semakin liberal, justru ide
yang ingin melawan ide liberalismelah yang terpuruk, baik negara komunis maupun
negara etatis. Itu merupakan bukti bahwa mereka tidak mampu memberikan alternatif
atas sistem ekonomi liberal.
|||
Sebagai seorang
mahasiswa biasa, saya ingin bertanya pada anda, Presiden, terkait berita yang
saya baca tadi siang di suaramerdeka.com
saya membaca sebuah berita, tentang yang anda dan teman anda lakukan hari ini :
"Kami menolak Boediono datang ke Undip karena dia merupakan salah satu tersangka kasus Century," kata korlap aksi, Muhammad Ngadibullah Bangun.
Saya ingin
bertanya, benarkah korlap anda mengatakan hal seperti itu ? atau ini hanya
rekaan media ? Jika iya, tentu korlap anda lupa membaca berita. Boediono sama
sekali belum menjadi tersangka, memang ia diduga bertanggung jawab atas kasus
itu karena waktu itu ia menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia, anda tentu
memahami, bahwa status tersangka seseorang hanya dapat diputuskan di meja
hakim. Bukan diotak para politisi picik yang memainkan isu atas kasus ini, juga
bukan diputuskan diotak korlap anda.
|||
Tentu, disini
saya menolak anda mencap Boediono sebagai seorang “agen neolib”, bukan karena saya
anaknya sehingga harus membela dia. Tapi sesungguhnya, mendefinisikan seseorang
sebagai seorang neolib bukan pekerjaan mudah. Saya harap (dan saya harap anda
juga berharap) setelah kejadian ini kita tidak lagi membenci seseorang atas dasar ‘Marxis’, ‘Sosialis’, ataupun ‘Liberalis’.
Semua itu mungkin penting, tapi semua itu adalah hal lumrah, tidak mempesona.
Karena itu, tak perlulah kita hakimi seseorang atas dasar itu. Kitamemang butuh
banyak kritik bagi Republik, tapi setiap kritik harus dilandasi keadilan,
setidaknya sejak dalam pikiran.
No comments:
Post a Comment