Friday, October 12, 2012

Refleksi Gerakan Mahasiswa


Postera crescam laude, saya akan bekerja untuk generasi mendatang
(Semboyan Universitas Melbourne)

Indonesia seharusnya berterima kasih kepada para mahasiswa dimasa lalu. Pada saat kondisi dan situasi masyarakat mengalami keresahan sosial (social unrest) yang memuncak, golongan mahasiswa yang sebelumnya “disia-siakan”, turun ke jalan untuk menuntut perubahan pada penguasa. Hal itu menciptakan premis mayor bahwa kemunculan gerakan mahasiswa ditandai dengan peristiwa sejarah tertentu, yang merupakan muara dari berbagai macam permasalahan. Kemunculan pemuda angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, 1974, 1978, 1990 dan 1998 mengiringi kelahiran sebuah konstruk peristiwa historis tertentu yang menentukan perjalanan sejarah Indonesia.


Gerakan mahasiswa merupakan sebuah fenomena sosial yang tidak hanya terjadi di Indonesia namun sudah menjadi menjadi fenomena sosial yang universal. Gerakan ini telah berakar jauh sejak abad XII khususnya di negara-negara Eropa yang telah berkembang model pendidikan tinggi. Gerakan mahasiswa internasional memainkan peranan dalam sejarah sosial Eropa sejak berdirinya universitas di Bologna, Paris dan Oxford pada abad ke-12 dan abad ke-13.

Para mahasiswa melancarkan suatu gerakan yang tertuju pada masyarakat dan banyak membawa perubahan pada perkembangan sejarah. Peranan mahasiswa semakin menonjol dan lebih bermakna dengan perkembangan dinamika masyarakat, hal itu mencerminkan semangat mahasiswa yang penuh idealisme merupakan pancaran dari usia muda. Mereka amat peka melihat penderitaan masyarakat serta akan memperlihatkan sikap memberontak terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan berdasarkan identitas mereka sendiri. Semua itu terpancar pada lingkungan sosial mereka dan terwujud pada suatu bentuk peranan unik, sentimen dan kritik dalam perspektif lampau, kini dan yang akan datang.

Namun kini, sebagian orang gundah, melihat gerakan mahasiswa semakin sepi dari aktivis: daripada terjun ke dalam dunia gerakan yang menyita energi, mahasiswa lebih memilih hidup bersantai di kampus, atau mungkin berjualan dan berbisnis. (Bukankah itu lebih menguntungkan? Dan lebih menyejahterakan?) Sebagian gundah, melihat gerakan mahasiswa, yang dari segi kuantitas itu semakin sedikit (atau setidaknya stagnan), masih saja tercerai-berai oleh perseteruan “dalam negeri,” friksi antarteman, dan tentu saja perbedaan kepentingan. Sebagian lagi gundah, melihat gerakan mahasiswa yang semakin tidak jelas tujuannya. Lihat saja, berapa gerakan mahasiswa yang masih konsisten dengan misi awalnya memberdayakan kemampuan intelektual mahasiswa dan mengasah kepekaan mereka pada realitas sosial? Sebagai bandingan (yang tentu saja tidak sebanding), lihat juga, berapa gerakan mahasiswa yang semakin mendekat pada pusat-pusat kekuasaan, tempat-tempat modal dan kucuran dana mengalir dengan derasnya?

Berbagai ekspresi kegundahan itu seringkali lahir dari suara-suara orang luar, atau sedikit aktivis gerakan yang benar-benar mengerti persoalan dan masih idealistis. Biasanya, lalu dicarilah penyebab, yang disinyalir merupakan faktor-faktor penyebab mewabahnya fenomena itu. Begitu beragamnya persoalan yang dihadapi gerakan mahasiswa hingga kita tak mampu memilah antara persoalan yang kecil dan besar, antara hulu dan hilir, antara orientasi dan problem internal organisasi dan individu. Akibatnya, dihadapkan pada perubahan isu yang cepat, gerakan mahasiswa bukan saja kehilangan strategi, tetapi juga yang lebih penting, kerangka untuk membaca situasi.

Persoalannya tentu saja pada awalnya adalah cara pandang. Cara pandang yang berpusat pada pembenahan internal seperti tercermin dari solusi-solusi moral dan eksistensial di atas, tidak mampu melihat posisi gerakan mahasiswa dalam konstelasi sosial-politik yang lebih luas. Gerakan mahasiswa saat ini harus berhadapan dengan relasi kekuasaan yang kompleks di luar dirinya. Relasi itu terlembaga dalam hubungan antara gerakan mahasiswa dengan institusi-institusi kekuasaan yang berpotensi mengkooptasinya.

Kampus telah menjadi tempat di mana kekuasaan, secara efektif dan nyaris tanpa perlawanan, bekerja dan diterima. Kebijakan itu mengondisikan dua hal: normalisasi dan depolitisasi mahasiswa. Normalisasi mengondisikan mahasiswa agar berpikiran bahwa kehidupan normal di kampus yang terpusat semata pada aktivitas pembelajaran akademik, merupakan satu-satunya pola kehidupan yang layak dan mesti dijalani. Karenanya, suatu hal yang sia-sia menghabiskan waktu menjalani kehidupan abnormal dalam gerakan mahasiswa.

Selain itu, dengan kebebasan politik yang dibuka oleh Reformasi, partai-partai politik saat ini tidak saja berkembang di dalam arena politik, tetapi juga melebarkan sayapnya ke dalam kampus dan arena politik kampus. Partai politik memanfaatkan kekosongan yang diakibatkan oleh depolitisasi kampus untuk melakukan “politisasi” atas mahasiswa, namun dengan tujuan yang tidak berangkat dari kepentingan mahasiswa, melainkan tujuan yang dibentuk oleh kepentingan partai. Karena itu tidak mengherankan bila dalam waktu cepat, mahasiswa mampu “bermetamorfosa-diri” menjadi penguasa yang dulu dilawannya. Pasca-Reformasi, hanya dalam waktu tak lama setelah keberhasilan menjatuhkan rezim Soeharto, terjadi migrasi besar-besaran mahasiswa dan aktivis kampus ke hiruk-pikuk dunia politik parlementer, yang dengan sekejap menyulap “eks-aktivis” menjadi kolaborator rezim.

Di luar praktik politik parlementer, sering dihembuskan optimisme, bahwa mahasiswa merupakan calon kelas menengah yang mapan, dan menjadi aktor penting bagi perubahan bangsa ke depan. Optimisme ini, di satu sisi, menunjukkan bahwa mahasiswa belum memenuhi syarat untuk disebut kelas menengah yang mandiri, karena belum masuk ke lapangan kerja yang profesional, tetapi juga menunjukkan bahwa mahasiswa, oleh kelas-kelas dominan, diharapkan menjadi partner untuk membangun dominasi kelas yang lebih kuat. Dengan pengetahuan yang dimiliki, konsolidasi kelas-kelas dominan akan terasa lebih cepat dan lengkap. Kelas dominan telah memiliki sumberdaya ekonomi dan kekuasaan, dan kini, dengan masuknya sumberdaya pengetahuan yang disediakan oleh intelektual kampus ini, semakin utuh dan kuat rekonsilidasi itu, yang selanjutnya membawa pada penguatan stabilitas pada tiga wilayah ekonomi, politik, dan sosial.

Tarikan-tarikan pada level struktural itu konkret adanya, dan membuat kita bertanya: jika benar, mahasiswa merupakan kelas tersendiri, mengapa ia tampak tak berdaya? Jika kita mampu menjawab pertanyaan pelik ini, tampaknya kita baru menemukan sedikit titik terang ke mana orientasi gerakan mahasiswa ke depan mesti dibangun.

No comments:

Post a Comment