Postera crescam laude, saya akan
bekerja untuk generasi mendatang
(Semboyan Universitas Melbourne)
Indonesia seharusnya berterima kasih
kepada para mahasiswa dimasa lalu. Pada saat kondisi dan situasi masyarakat
mengalami keresahan sosial (social unrest) yang memuncak,
golongan mahasiswa yang sebelumnya “disia-siakan”, turun ke jalan untuk menuntut
perubahan pada penguasa. Hal itu menciptakan premis mayor bahwa kemunculan
gerakan mahasiswa ditandai dengan peristiwa sejarah tertentu, yang merupakan
muara dari berbagai macam permasalahan. Kemunculan pemuda angkatan 1908, 1928,
1945, 1966, 1974, 1978, 1990 dan 1998 mengiringi kelahiran sebuah konstruk
peristiwa historis tertentu yang menentukan perjalanan sejarah Indonesia.
Gerakan mahasiswa merupakan sebuah
fenomena sosial yang tidak hanya terjadi di Indonesia namun sudah menjadi
menjadi fenomena sosial yang universal. Gerakan ini telah berakar jauh sejak
abad XII khususnya di negara-negara Eropa yang telah berkembang model
pendidikan tinggi. Gerakan mahasiswa internasional memainkan peranan dalam
sejarah sosial Eropa sejak berdirinya universitas di Bologna, Paris dan Oxford
pada abad ke-12 dan abad ke-13.
Para
mahasiswa melancarkan suatu gerakan yang tertuju pada masyarakat dan banyak
membawa perubahan pada perkembangan sejarah. Peranan mahasiswa semakin menonjol
dan lebih bermakna dengan perkembangan dinamika masyarakat, hal itu
mencerminkan semangat mahasiswa yang penuh idealisme merupakan pancaran dari
usia muda. Mereka amat peka melihat penderitaan masyarakat serta akan
memperlihatkan sikap memberontak terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan
berdasarkan identitas mereka sendiri. Semua itu terpancar pada lingkungan
sosial mereka dan terwujud pada suatu bentuk peranan unik, sentimen dan kritik
dalam perspektif lampau, kini dan yang akan datang.
Namun kini, sebagian orang gundah, melihat
gerakan mahasiswa semakin sepi dari aktivis: daripada terjun ke dalam dunia
gerakan yang menyita energi, mahasiswa lebih memilih hidup bersantai di kampus,
atau mungkin berjualan dan berbisnis. (Bukankah itu lebih menguntungkan? Dan
lebih menyejahterakan?) Sebagian gundah, melihat gerakan mahasiswa, yang dari
segi kuantitas itu semakin sedikit (atau setidaknya stagnan), masih saja
tercerai-berai oleh perseteruan “dalam negeri,” friksi antarteman, dan tentu
saja perbedaan kepentingan. Sebagian lagi gundah, melihat gerakan mahasiswa
yang semakin tidak jelas tujuannya. Lihat saja, berapa gerakan mahasiswa yang
masih konsisten dengan misi awalnya memberdayakan kemampuan intelektual mahasiswa
dan mengasah kepekaan mereka pada realitas sosial? Sebagai bandingan (yang
tentu saja tidak sebanding), lihat juga, berapa gerakan mahasiswa yang semakin
mendekat pada pusat-pusat kekuasaan, tempat-tempat modal dan kucuran dana
mengalir dengan derasnya?
Berbagai
ekspresi kegundahan itu seringkali lahir dari suara-suara orang luar, atau
sedikit aktivis gerakan yang benar-benar mengerti persoalan dan masih
idealistis. Biasanya, lalu dicarilah penyebab, yang disinyalir merupakan
faktor-faktor penyebab mewabahnya fenomena itu. Begitu beragamnya persoalan yang
dihadapi gerakan mahasiswa hingga kita tak mampu memilah antara persoalan yang
kecil dan besar, antara hulu dan hilir, antara orientasi dan problem internal
organisasi dan individu. Akibatnya, dihadapkan pada perubahan isu yang cepat,
gerakan mahasiswa bukan saja kehilangan strategi, tetapi juga yang lebih
penting, kerangka untuk membaca situasi.
Persoalannya tentu saja pada
awalnya adalah cara pandang. Cara pandang yang berpusat pada pembenahan
internal seperti tercermin dari solusi-solusi moral dan eksistensial di atas,
tidak mampu melihat posisi gerakan mahasiswa dalam konstelasi sosial-politik
yang lebih luas. Gerakan mahasiswa saat ini harus
berhadapan dengan relasi kekuasaan yang kompleks di luar dirinya. Relasi itu
terlembaga dalam hubungan antara gerakan mahasiswa dengan institusi-institusi
kekuasaan yang berpotensi mengkooptasinya.
Kampus telah menjadi tempat di mana
kekuasaan, secara efektif dan nyaris tanpa perlawanan, bekerja dan diterima.
Kebijakan itu mengondisikan dua hal: normalisasi dan depolitisasi mahasiswa.
Normalisasi mengondisikan mahasiswa agar berpikiran bahwa kehidupan normal di
kampus yang terpusat semata pada aktivitas pembelajaran akademik, merupakan
satu-satunya pola kehidupan yang layak dan mesti dijalani. Karenanya, suatu hal
yang sia-sia menghabiskan waktu menjalani kehidupan abnormal dalam gerakan
mahasiswa.
Selain itu, dengan kebebasan politik
yang dibuka oleh Reformasi, partai-partai politik saat ini tidak saja
berkembang di dalam arena politik, tetapi juga melebarkan sayapnya ke dalam
kampus dan arena politik kampus. Partai politik memanfaatkan kekosongan yang
diakibatkan oleh depolitisasi kampus untuk melakukan “politisasi” atas
mahasiswa, namun dengan tujuan yang tidak berangkat dari kepentingan mahasiswa,
melainkan tujuan yang dibentuk oleh kepentingan partai. Karena itu tidak mengherankan bila
dalam waktu cepat, mahasiswa mampu “bermetamorfosa-diri” menjadi penguasa yang
dulu dilawannya. Pasca-Reformasi, hanya dalam waktu tak lama setelah
keberhasilan menjatuhkan rezim Soeharto, terjadi migrasi besar-besaran
mahasiswa dan aktivis kampus ke hiruk-pikuk dunia politik parlementer, yang dengan
sekejap menyulap “eks-aktivis” menjadi kolaborator rezim.
Di luar praktik politik parlementer,
sering dihembuskan optimisme, bahwa mahasiswa merupakan calon kelas menengah
yang mapan, dan menjadi aktor penting bagi perubahan bangsa ke depan. Optimisme
ini, di satu sisi, menunjukkan bahwa mahasiswa belum memenuhi syarat untuk
disebut kelas menengah yang mandiri, karena belum masuk ke lapangan kerja yang
profesional, tetapi juga menunjukkan bahwa mahasiswa, oleh kelas-kelas dominan,
diharapkan menjadi partner untuk membangun dominasi kelas yang lebih kuat.
Dengan pengetahuan yang dimiliki, konsolidasi kelas-kelas dominan akan terasa
lebih cepat dan lengkap. Kelas dominan telah memiliki sumberdaya ekonomi dan
kekuasaan, dan kini, dengan masuknya sumberdaya pengetahuan yang disediakan
oleh intelektual kampus ini, semakin utuh dan kuat rekonsilidasi itu, yang
selanjutnya membawa pada penguatan stabilitas pada tiga wilayah ekonomi,
politik, dan sosial.
Tarikan-tarikan pada level
struktural itu konkret adanya, dan membuat kita bertanya: jika benar, mahasiswa
merupakan kelas tersendiri, mengapa ia tampak tak berdaya? Jika kita mampu menjawab pertanyaan
pelik ini, tampaknya kita baru menemukan sedikit titik terang ke mana orientasi
gerakan mahasiswa ke depan mesti dibangun.
No comments:
Post a Comment