Faisal kini muncul, kata ini
seolah menjadi altenatif di tengah kesemrawutan. Ia maju sebagai calon gubernur
DKI Jakarta. Bagi Faisal, politik adalah sebuah tugas sedih , berusaha
menegakkan keadilan di dunia yang penuh dosa. Terjun ke politik bukanlah
keinginan, tapi merupakan sesuatu hal yang tak terhindarkan, dan ini berlaku
bagi seluruh intelektual publik - seseorang yang dengan tulisan dan ucapannya
berbicara ke orang ramai, menjelaskan apa yang sebaiknya dan yang tak sebaiknya
terjadi bagi kehidupan bersama.
Aneh memang, bagi Faisal ini
adalah tugas. Tugas yang dimaksud bukanlah komando dari ketua partai atau kekuasaan
apapun. Tugas itu muncul, di dalam diri kita, karena ada sebuah luka. Kita
merasa harus melakukan sesuatu karena itu. Luka itu terjadi ketika pada suatu
hari, dalam kehidupan sosial kita, ada yang dianiaya, ada sesama yang berbeda dan
sebab itu hendak dibinasakan. Luka itu ketidak-adilan.
Faisal Basri adalah contoh nyata
kekuatan rakyat, yang jengah atas dominasi partai, yang gerah atas
ketidak-adilan, dan Faisal adalah salah satu dari sekian banyak intelektual publik
yang siap bekerja untuk Indonesia, tanpa harus muncul di televisi.
Kita tak bisa terus diam melihat
itu semua, kita harus bergerak membuka jalan dan membentuk sebuah harapan. Dan ini
adalah fungsi politik, tugas merambah jalan belukar untuk membuka celah agar kebaikan itu datang.
Terkadang tangan jadi kotor, hati jadi keras – dan itu menyebabkan rasa kecewa
tersendiri. Tapi harapan itu terbuka, diizinkan masuknya gerakan non-partai
dalam pemilu daerah.
|||
Partai, sejak Indonesia tahun
1950-an merupakan tempat berlabuhnya harapan rakyat. Pada saat itu ‘demokrasi
liberal’ sedang marak, banyak hal positif yang didapat : Munculnya kesadaran
politik dalam mayarakat yang bahkan menjalar sampai ke desa – desa, dan juga
berkembangnya kemampuan organisasi rakyat.
Ketika di tahun 1955 pemilu
demokratis pertama yang bersih, jujur, dan adil itu diadakan, tampaklah hasil
demokrasi tersebut. Muncul harapan yang besar di hati rakyat, soal – soal sosial,
ekonomi, politik akan terselesaikan, tapi harapan itu berlebihan. Hal ini
karena biar bagaimanapun pemilu tak akan menghasilkan kekuatan mayoritas, dan
ini adalah cerminan dari struktur masyarakat Indonesia yang beragam, karena
itulah diperlukan sebuah kompromi dan negosisasi. Karena itu, untuk membentuk kabinet
yang kuat, diperlukan koalisi yang kokoh. Namun membentuk koalisi pada masa itu
tak mudah, Masyumi yang Islam dan PKI tak bisa bertemu.
Ketegangan dan konflik yang
terbentuk dari ketidak-sepahaman partai muncul, inilah yang membentuk suara
anti-partai dan militer sebagai penyokong yang kuat. Dan kemudian militer
menjadi pendukung utama saat Bung Karno mengeluarkan ‘Dekrit Presiden 1958’
yang membubarkan parlemen pilihan rakyat. Dengan dekrit itu, ada partai seperti
Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dibubarkan, tapi tidak dikuasai
sepenuhnya.
Kemudian zaman bergerak, ketika ‘Orde
Baru’ ditegakkan, partai semakin sulit muncul.
Rezim Orba membentuk ‘Golongan Karya’. Golkar ini tak disebut partai namun
berprilaku seperti partai karena berkuasa, dan tak ada yang berani melawan
karena golkar disokong oleh militer. Namun, setelah Mayor Jenderal Soeharto
dengan Orba-nya jatuh, partai mendapat kebebasan lagi dan Golkar menyebut
dirinya sebagai ‘Partai Golkar’.
Mengingat semangat anti partai
yang digalakkan sejak tahun 1958-an malah membentuk kediktaturan Orba, banyak
harapan diletakkan pada partai semenjak reformasi. Sayangnya partai menyia - nyiakan harapan besar itu. Partai mandul
dan gagal jadi sarana perjuangan rakyat, tapi justru jadi mesin pemburu
kekuasaan dan uang. Hal ini juga terjadi pada partai – partai yang mengaku ‘dekat’
dengan Tuhan. Di DPR setiap tahun berputar uang bermilyar – milyar yang
digunakan untuk kepentingan pribadi.
Apakah kini dengan semakin
buruknya kondisi partai di Indonesia, kita ingin juga membubarkannya ? Tentu
kita tak ingin ada ‘organisasi parasit’ yang tumbuh di Negeri ini. Tapi tak
mungkin membubarkan partai, selain dengan kekerasan, dan itu akan melahirkan
sebuah kediktaturan baru. Tentu ada jalan lain, jalan yang tak mudah untuk
mengubah bangunan yang telah ada tentunya.
‘Gerakan Non-Partai’ namanya,
gerakan ini diharapkan dapat menghindari, jika tak dapat memberangus, kekuasaan
uang dan juga oligarki politik. Di kota yang bangunanya terancam rubuh, DKI
Jakarta, Faisal Basri memunculkan harapan membuat jalan alternatif itu. Saya sendiri skeptis, bisakah Faisal dan yang
lain masuk ke dalam ‘arena pertempuran’ ? Tapi setelah melihat, dukungan kian
kuat. Dan disinilah saya dalam posisi untuk memilih, memilih Faisal Basri
daripada Fauzi Bowo atau yang lainnya untuk menjadi ‘DKI 1’.
Jalan memang masih terjal bagi
Calon Independen DKI, dan terlebih untuk Pemilu Nasional. Tapi kita harus terus
membuka jalan dan berkata sanggup karena saya tak ingin duduk ongkang – ongkang
dan menertawakan mereka yang berjuang untuk perbaikan.
Kini, di depan belukar itu, kita
berjudi dengan masa depan. Siapa yang menuntut kepastian secara penuh dari
sejarah akan mendustai diri sendiri. Selalu ada saat untuk bertindak dan
memihak – juga ketika kita menolak untuk bertindak dan memihak.
Tapi pada saat yang sama juga ada
saat untuk berdiri agak menjauh. Terkadang dengan ironi, terkadang dengan
penyesalan, tapi selamanya dengan kesetiaan : di dunia yang berdosa, pilihan
kita bisa salah, tapi tugas tak henti-hentinya memanggil dan politik selamanya
meminta. Kita mungkin gagal. Meski demikian, tetap ada yang berharga yang kita
perkelahikan.
No comments:
Post a Comment