Wednesday, January 18, 2012

Faisal


Faisal kini muncul, kata ini seolah menjadi altenatif di tengah kesemrawutan. Ia maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Bagi Faisal, politik adalah sebuah tugas sedih , berusaha menegakkan keadilan di dunia yang penuh dosa. Terjun ke politik bukanlah keinginan, tapi merupakan sesuatu hal yang tak terhindarkan, dan ini berlaku bagi seluruh intelektual publik - seseorang yang dengan tulisan dan ucapannya berbicara ke orang ramai, menjelaskan apa yang sebaiknya dan yang tak sebaiknya terjadi bagi kehidupan bersama.


Aneh memang, bagi Faisal ini adalah tugas. Tugas yang dimaksud bukanlah komando dari ketua partai atau kekuasaan apapun. Tugas itu muncul, di dalam diri kita, karena ada sebuah luka. Kita merasa harus melakukan sesuatu karena itu. Luka itu terjadi ketika pada suatu hari, dalam kehidupan sosial kita, ada  yang dianiaya, ada sesama yang berbeda dan sebab itu hendak dibinasakan. Luka itu ketidak-adilan.

Faisal Basri adalah contoh nyata kekuatan rakyat, yang jengah atas dominasi partai, yang gerah atas ketidak-adilan, dan Faisal adalah salah satu dari sekian banyak intelektual publik yang siap bekerja untuk Indonesia, tanpa harus muncul di televisi.

Kita tak bisa terus diam melihat itu semua, kita harus bergerak membuka jalan dan membentuk sebuah harapan. Dan ini adalah fungsi politik, tugas merambah jalan belukar  untuk membuka celah agar kebaikan itu datang. Terkadang tangan jadi kotor, hati jadi keras – dan itu menyebabkan rasa kecewa tersendiri. Tapi harapan itu terbuka, diizinkan masuknya gerakan non-partai dalam pemilu daerah.

|||

Partai, sejak Indonesia tahun 1950-an merupakan tempat berlabuhnya harapan rakyat. Pada saat itu ‘demokrasi liberal’ sedang marak, banyak hal positif yang didapat : Munculnya kesadaran politik dalam mayarakat yang bahkan menjalar sampai ke desa – desa, dan juga berkembangnya kemampuan organisasi rakyat.

Ketika di tahun 1955 pemilu demokratis pertama yang bersih, jujur, dan adil itu diadakan, tampaklah hasil demokrasi tersebut. Muncul harapan yang besar di hati rakyat, soal – soal sosial, ekonomi, politik akan terselesaikan, tapi harapan itu berlebihan. Hal ini karena biar bagaimanapun pemilu tak akan menghasilkan kekuatan mayoritas, dan ini adalah cerminan dari struktur masyarakat Indonesia yang beragam, karena itulah diperlukan sebuah kompromi dan negosisasi. Karena itu, untuk membentuk kabinet yang kuat, diperlukan koalisi yang kokoh. Namun membentuk koalisi pada masa itu tak mudah, Masyumi yang Islam dan PKI tak bisa bertemu.

Ketegangan dan konflik yang terbentuk dari ketidak-sepahaman partai muncul, inilah yang membentuk suara anti-partai dan militer sebagai penyokong yang kuat. Dan kemudian militer menjadi pendukung utama saat Bung Karno mengeluarkan ‘Dekrit Presiden 1958’ yang membubarkan parlemen pilihan rakyat. Dengan dekrit itu, ada partai seperti Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dibubarkan, tapi tidak dikuasai sepenuhnya.

Kemudian zaman bergerak, ketika ‘Orde Baru’ ditegakkan, partai semakin sulit muncul.  Rezim Orba membentuk ‘Golongan Karya’. Golkar ini tak disebut partai namun berprilaku seperti partai karena berkuasa, dan tak ada yang berani melawan karena golkar disokong oleh militer. Namun, setelah Mayor Jenderal Soeharto dengan Orba-nya jatuh, partai mendapat kebebasan lagi dan Golkar menyebut dirinya sebagai ‘Partai Golkar’.

Mengingat semangat anti partai yang digalakkan sejak tahun 1958-an malah membentuk kediktaturan Orba, banyak harapan diletakkan pada partai semenjak reformasi. Sayangnya partai menyia  - nyiakan harapan besar itu. Partai mandul dan gagal jadi sarana perjuangan rakyat, tapi justru jadi mesin pemburu kekuasaan dan uang. Hal ini juga terjadi pada partai – partai yang mengaku ‘dekat’ dengan Tuhan. Di DPR setiap tahun berputar uang bermilyar – milyar yang digunakan untuk kepentingan pribadi.

Apakah kini dengan semakin buruknya kondisi partai di Indonesia, kita ingin juga membubarkannya ? Tentu kita tak ingin ada ‘organisasi parasit’ yang tumbuh di Negeri ini. Tapi tak mungkin membubarkan partai, selain dengan kekerasan, dan itu akan melahirkan sebuah kediktaturan baru. Tentu ada jalan lain, jalan yang tak mudah untuk mengubah bangunan yang telah ada tentunya.

‘Gerakan Non-Partai’ namanya, gerakan ini diharapkan dapat menghindari, jika tak dapat memberangus, kekuasaan uang dan juga oligarki politik. Di kota yang bangunanya terancam rubuh, DKI Jakarta, Faisal Basri memunculkan harapan membuat jalan alternatif itu.  Saya sendiri skeptis, bisakah Faisal dan yang lain masuk ke dalam ‘arena pertempuran’ ? Tapi setelah melihat, dukungan kian kuat. Dan disinilah saya dalam posisi untuk memilih, memilih Faisal Basri daripada Fauzi Bowo atau yang lainnya untuk menjadi ‘DKI 1’.

Jalan memang masih terjal bagi Calon Independen DKI, dan terlebih untuk Pemilu Nasional. Tapi kita harus terus membuka jalan dan berkata sanggup karena saya tak ingin duduk ongkang – ongkang dan menertawakan mereka yang berjuang untuk perbaikan.

Kini, di depan belukar itu, kita berjudi dengan masa depan. Siapa yang menuntut kepastian secara penuh dari sejarah akan mendustai diri sendiri. Selalu ada saat untuk bertindak dan memihak – juga ketika kita menolak untuk bertindak dan memihak.

Tapi pada saat yang sama juga ada saat untuk berdiri agak menjauh. Terkadang dengan ironi, terkadang dengan penyesalan, tapi selamanya dengan kesetiaan : di dunia yang berdosa, pilihan kita bisa salah, tapi tugas tak henti-hentinya memanggil dan politik selamanya meminta. Kita mungkin gagal. Meski demikian, tetap ada yang berharga yang kita perkelahikan.

No comments:

Post a Comment