Sunday, November 20, 2011

Ketika Tak Ada Lagi Revolusi

Untuk para buruh di Papua, Jakarta, Palembang, dan seluruh pelosok Negeri. Kalian tidak   sedang bermimpi, tapi justru tengah bangun dari mimpi buruk

Banyak sejumlah pemikir murung yang berbicara tentang manusia dan kehidupan, mereka berkata kini tak ada lagi harapan, manusia telah menjadi subyek. Kapitalisme telah merasuk kemana – mana pada abad ke-21 ini, segala lini kehidupan telah dirasuki ‘Sang Modal Besar’. 

Monday, November 14, 2011

Globalisasi, Pancasila, dan Yang Lainnya

Kita sekarang hidup di zaman yang makin menyadari kemajuan teknologi. Lalu lintas global dibiarkan menembus garis perbatasan Nasional. Pertama – tama meluasnya informasi, lalu pergeseran nilai sosial, modernitas, kemudian kemajuan yang mempengaruhi ekonomi Negara. Globalisasi yang tak terbendung, dan memang tak bisa dibendung ini menghasilkan kontradiksi. Ia telah menjadi sebuah kehidupan sosial baru yang tidak selamanya baik dan memang tidak sepenuhnya buruk.

Thursday, November 10, 2011

Demokrasi

Demokrasi adalah anak kandung dari reformasi, dia lahir dari proses persalinan yang sulit, dengan darah di kampus Trisakti, Atmajaya, dan berbagai sudut jalan Republik. Demokrasi melahirkan sebuah konstitusi yang mengatur kebebasan berpendapat, hak – hak individu terjamin, proses pemilihan langsung presiden  dan pergantian yang regular, dan berbagai hal yang melepaskan kita dari para Opsir Revolusi yang menjadi diktatoral. Tapi, setelah 12 tahun berjalan – mungkin tengah remaja, demokrasi mulai dipertanyakan.

Sunday, October 23, 2011

Sebuah Nota Pendek

Ada sebuah kecurigaan atau rasa was was, ketika golongan hadir menjadi momok, ketika kebenaran menjadi sebuah pemburuan yang sulit. Kita curiga setiap ada pembicaraan, perkumpulan, atau mungkin pergerakan “Jangan – jangan itu organisasinya si Anu, jangan – jangan si Anu mau jadi Presiden BEM, jangan – jangan si Anu . . . . . ”

Wednesday, October 5, 2011

Pancasila Itu, Tidaklah Sakti

Selalu menarik membicarakan Pancasila, sebuah ideologi bangsa kita yang katanya sakti ini. Saya yang sejak lahir hidup di tanah tumpah darah ini tak pernah sekalipun berfikir untuk tak terpaut dengan Pancasila atau lupa tentang Pancasila. Pancasila hadir melalui teks, merajuk ke dalam tabula paling dalam, ia kekal disana. Namun, beberapa hari lalu, dalam mata kuliah Bisnis dan Politik, seorang asisten Dosen mengusik tabula itu, apa sebenarnya Pancasila itu ? Pertanyaan ini tentu mengetuk, mengusik, dan selalu menarik untuk dijawab, apalagi setelah itu kita, Indonesia, memperingati hari kesaktian Pancasila pada  1 Oktober.

Wednesday, September 28, 2011

Tanpa Label


“Komunis adalah Racun !” Begitu kata sebagian teman mahasiswa saya, mereka mengatakan andai saja bukan Pramoedya Ananta Toer yang dipenjara atau kurang lebih 500 ribu orang lebih yang diduga Komunis atau Kiri yang dibunuh, maka Pramoedya Ananta Toer lah yang akan menggebuk para penulis Manifesto Kebudayaan atau kaum komunislah yang akan menghabisi mereka yang bukan komunis. Mereka yang mengatakan hal seperti itu bukan lagi para antek orde baru, mereka bahkan orang yang sangat kritis dan sadar akan kekejaman pemerintahan Orde Baru, inilah yang sedikit mengusik saya.

Lembing


Aku mulai tidak mengerti tentang kata

Kata yang mengandung  dusta & fitnah
Kata telah berubah menjadi jerat yang menggebuk
Hari ini . . . 
Adalah hari dimana kata telah menjadi lembing


Dan ketika itu terjadi
Gelap akan berganti kelam
Aku tak takut gelap,  karena itu bagian dari hidup
Tapi aku takut kelam
Kelam adalah memandang gelap yg mutlak
kelam adalah menyerah, kelam adalah putus asa, kelam adalah hilang, kelam adalah jera


Dan saat kata telah menjadi lembing
Kita membekukan segala yang mungkin
Kita telah gagal memburu arti karena kita takut pada ketidakpastian


Semarang, 20 September 2011

Monday, August 29, 2011

Yang Hilang

Reformasi telah lewat, perubahan besar  itu terjadi 13 tahun yang lalu namun hingga kini masih menyisakan luka sejarah yang dalam terutama bagi mereka yang hilang, mungkin sebagian orang sudah lupa dengan Wiji Thukul, ia hilang dan tak pernah kembali, mungkin orang banyak sudah lupa akan kejadian itu, orang mungkin bahkan lupa ada nama itu, nama seorang yang diculik, terutama karena Wiji Thukul tak dikenal luas. Saya juga tak mengenalnya betul—dan memang tak harus mengenalnya betul.

Saturday, August 27, 2011

Yang Dulu Disembah

-                            -    Kepada elite politik yang tengah memegang kekuasaan


Para elite politik yang tengah memegang kekuasaan, lihatlah:  bangsa ini bukan sebuah dongeng.

Kita terdiri dari tubuh, jiwa, roh, tanah, dan air, dengan impian, fantasi, rasa kurang, bangga, hasrat punya harga diri, nafsu untuk jadi kaya dan bermartabat atau jadi orang sederhana saja. Kita manusia yang pandai mengekspresikan kebaikan hati, kepintaran, tapi juga ketololan dan kekejian. Kita menyimpan kekuatan otot dan juga rasa sakit dari cacingan sampai dengan flu burung. Kita bukan peri.

Sunday, August 21, 2011

Nasionalisme


Desember  1817, Thomas Matulessy, atau yang lebih flamboyan dengan sebutan Kapitan Pattimura, digantung di benteng Victoria, ia menggadaikan jiwanya untuk sebuah harapan : “Indonesia Merdeka”

Terkadang saya berpikir, apa gerangan yang ada dalam pikiran Kapitan Pattimura beberapa saat sebelum digantung. Kadang-kadang saya ingin membayangkan, ia menyebut nama ”Indonesia” di bibirnya, atau ”Indonesia merdeka”, tapi tentu saja ini satu imajinasi klise, dan sebab itu tiap kali muncul cepat-cepat saya stop. Bukan mustahil ia ketakutan di depan algojo pasukan pendudukan Belanda itu. Atau ia pasrah? Yang agaknya pasti, beberapa puluh menit, atau beberapa puluh detik kemudian, seluruh ketakutan (atau sikap pasrah, atau jangan-jangan kecongkakan yang tampil seperti keberanian) pun punah: Tali itu membekap lehernya. Jantung berhenti berdetak, ia roboh, tak akan pernah berjuang lagi.

Tuesday, August 16, 2011

Pram

Mungkin hampir  13 tahun yang lalu, nama Pramoedya Ananta Toer diucap dengan berbisik, di tangan rezim itu, Pram dihabisi, diberangus, dan dikebiri. Pram, satu satunya calon peraih nobel sastra dari Indonesia ini hilang selama 18 tahun, dia dipenjara oleh tiga rezim, Rezim Kolonialisme Belanda, Orde Lama, dan Orde Baru. Ia menjadi tahanan politik, merasakan dinginnya tembok Nusakambangan, dan menyandang gelar “Tahanan Politik” di Pulau Buru, semua itu tanpa keadilan, tanpa pengadilan.

Friday, August 12, 2011

Soe Hok Gie

Soe Hok Gie, saya dengar nama ini pertama kali pertengahan tahun 2008 dari perbincangan antara kakak saya dan temannya di beranda rumah kami. Tidak terlalu menarik, Soe Hok Gie, atau yang kemudian lebih terkenal dengan sapaan Gie bukanlah seorang tokoh “superstar” Republik macam  Bung Karno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, H.O.S Tjokroaminoto, atau bahkan tokoh PKI Dipa Nusantara Aidit yang malang melintang di buku pelajaran sekolah. Gie tidak terlalu menarik bagi saya, dia kalah oleh zona nyaman yang saya miliki saat itu.