“Komunis adalah Racun !” Begitu
kata sebagian teman mahasiswa saya, mereka
mengatakan andai saja bukan Pramoedya Ananta Toer yang dipenjara atau kurang
lebih 500 ribu orang lebih yang diduga Komunis atau Kiri yang dibunuh, maka
Pramoedya Ananta Toer lah yang akan menggebuk para penulis Manifesto Kebudayaan
atau kaum komunislah yang akan menghabisi mereka yang bukan komunis. Mereka
yang mengatakan hal seperti itu bukan lagi para antek orde baru, mereka bahkan
orang yang sangat kritis dan sadar akan kekejaman pemerintahan Orde Baru, inilah
yang sedikit mengusik saya.
‘Kita tahu’ tapi mungkin sebagian
teman saya lupa . . .
Sejarah Politik Indonesia modern
bisa ditulis sebagai sejarah bekerjanya jepit dan stigma kata dari masa ke
masa. Terkadang, orang lain menjebak orang lain dengan kata, menjerat diri
dengan kata. Gestapu, Gerakan September
Tiga puluh, atau yang acap disapa G30S/PKI adalah sebuah jerat yang menakutkan sejak
tahun 1970-an di bawah pemerintah Orde Baru, orang acap kali tak berkutik jika
dijerat dengan kata Marxis, Komunis, PKI, ataupun Kiri. Apa arti sebenarnya
Marxis ? Komunis ? PKI ? ataupun Kiri ? Tak penting lagi dikaji apa sebenarnya
arti kata – kata itu. Orang – orang tak peduli lagi tentang apa yang terkandung
atau tidak terkandung di dalamnya. Endapan racun ini berumur panjang, paranoia
itu masih hadir tatkala orang mendengar kata ‘Komunis’ ataupun ‘Marxis’, juga
setelah lebih dari 20 Tahun runtuhnya Partai Komunis terbesar dunia.
Pada saat itulah bermula
kecurigaan jadi rumus, dan kebencian menjadi doktrin. Kita boleh berkhayal
dengan jutaan mimpi, andai saja Komunis dibiarkan tumbuh dan berkembang maka
merekalah yang akan menggebuk orang tidak berhaluan kiri. Tapi, bayangan hanya
akan menjadi bayangan. Masih ada ratusan atau jutaan kemungkinan lagi yang akan
terjadi andai kudeta Soeharto tidak terjadi. Tapi yang pasti dan telah berlalu
kini adalah ratusan ribu orang dibunuh lalu dibuang ke kali tanpa pengadilan
hanya karena mereka diduga komunis, bahkan
banyak diantara mereka bukan orang komunis atau berhaluan kiri.
Politik ketakutan yang dimainkan
oleh Soeharto begitu dahsyat disini. Rasa takut memang dapat menjadi efektif
untuk mengontrol masa. Dalam ketakutan, kita biasanya akan lari untuk mendapat
perlindungan. Dalam ketakutan, kita biasanya tidak lagi bisa rasional:
satu-satunya yang kita kuatirkan adalah keselamatan kita. Dalam ketakutan, kita
akan lebih mudah tunduk pada yang berkuasa, karena kita mempercayai bahwa
mereka dapat melindungi kita. Dan terkadang, kita tidak lagi perduli apapun
yang mereka lakukan, asalkan kita selamat. Karena ketakutan yang teramat
sangat, dapat membuat seseorang bersandar pada dua pilihan: ‘Membunuh atau
dibunuh’. Sebuah logika yang tumpul – namun masih meresap dalam sanubari
sebagian dari kita.
Sungguh, kita tak perlu membawa
nama ‘Komunis’ untuk menjadi kejam begitu juga membawa – bawa nama ‘agama’
untuk menjadi bermoral. Kekejaman dan kriminalitas dapat terjadi atas nama keduanya.
Kita tak perlu meringkas sesuatu atau melabeli sesuatu sebagai pelimpahan atas
apa yang terjadi terhadap diri kita pada orang lain. Karena jika suatu hari
anda menjadi sasaran dari serangan label seperti ini, anda pasti akan terheran –
heran dengan penggambaran tersebut. Memang, hidup itu membingungkan. Hal yang
pasti dalam hidup adalah ketidak-pastian, yang terkadang meresahkan. Memberi
label pada pihak lain dapat memberi kita rasa nyaman dari dunia yang bukan
kamar mati ini.
|||
Perbedaan, akan selalu hadir di
dunia ini, karena itulah kita perlu rasa rendah hati untuk menerima
ketidakpaduan ini. Kita masih seringkali mengingat tiap 30 September dan 1 Oktober
telah terjadi pembunuhan. Di tahun 1965-1966 itu, mula-mula sejumlah jenderal,
kemudian ratusan ribu orang Indonesia yang bukan jenderal dan tak bersalah
bergelimpangan dibantai. Atau disiksa.
Sejak itu, di tanah tumpah darah
ini, kita begitu takut, pedih, dan malu mengaku bersalah oleh keganasan itu.
Semuanya kita masukkan ke dalam sebuah kata, ‘Gestapu’, seperti kita
menyembunyikan sesuatu di dalam kotak. Kita gagap bila kita harus mengenangnya.
Stigmasisasi semacam ini tidak hanya terjadi di era Orde Baru, di Era Demokrasi
Terpimpin pimpinan Soekarno kata ‘Kontra-Revolusioner’ menjadi jerat, PSI
(Partai Sosialis Indonesia) dan Masyumi menjadi musuh politik yang digebuk oleh
Orde Lama. Mereka yang dilabeli sebagai PSI dan Masyumi dimusuhi, surat
kabarnya ditutup, mereka telah dijerat dengan kata untuk dijadikan musuh
politik, buat digebuk. Di era ini, tampaknya orang mulai memproduksi stigma
baru : ‘Neo-Liberalisme’, ‘Liberal’, ‘Sekuler’, ‘Fundamentalis’ dan dengan itu
semua pertukaran pendapat tak lagi jernih yang ada hanyalah bunyi, kata, atau
huruf yang ditebar dengan racun yang siap menjerat dan mengikat.
Saya juga tak pernah membayangkan
jika kemudian hari, saya akan dijerat dengan label ataupun cap. Kita,
mahasiswa, sebagai kaum akademisi seharusnya tidak hanya terkait dengan satu
sistem, atau masuk ke dalam sistem, atau bahkan menamai sebuah sistem, kita
harus bolak-balik dalam berbagai pemikiran dan seperti istilah Bung Hatta, kita
harus “menukik lebih dalam” ke dalam percaturan teori dan filsafat untuk
menjawab berbagai pertanyaan yang ada di dunia ini. Karena itulah saya sering
merasa geli bila diberi dengan satu label, atau satu ‘isme’. “Terjebak dalam
satu label itu lucu”, begitu kata kakak sepupu saya yang merupakan Aktivis HMI
(Himpunan Mahasiswa Islam) saat saya tanya mengapa ia membaca dengan tekun buku Liu Shao-qi, How To be a Good Communist.
Bagi saya sikap terbaik adalah
mengikuti apa yang saya gambarkan dari semangat Gus Dur: berjalan menjelajah
dan memperlakukan keyakinan ideologis sebagai obor yang terang. Bukan sebagai
benteng yang kaku. Mereka yang memperlakukan ideologi sebagai obor dalam
penjelajahan hidup— memang punya risiko akan tampak sebagai seorang yang tak
konsisten. Jangan-jangan akan jadi ‘revisionis.’ Atau ‘liberalis.’ Atau
‘murtad.’ Atau masuk ‘aliran sesat.’
Tidak penting lagi, untuk
menganggap diri kita sebagai ‘Marhaenis’, ‘Marxis’, ‘Sosialis’, ataupun ‘Liberalis’.
Semua itu mungkin penting, tapi semua itu adalah hal lumrah, tidak mempesona.
Lumrah disini berarti seperti garam : meresap, merubah, memberi 'daya' pada
makanan tanpa kelihatan, namun jika suatu waktu ‘garam’ itu terlalu kuat, ia perlu dikurangi
kepekatannya. Karena itulah menjadi wajar jika kita harus berteriak : “Mari
hilangkan label, karena kita butuh percakapan yang tenang, enak dan, maaf,
produktif”.
saya suka sekali dengan tulisan anda, terutama pada paragraf terakhir. Apa yang sering kita lupakan sebenarnya adalah berpikir sesuai dengan konteks, terkadang pemikiran yang terlalu mendalam pada sesuatu justru menutup kemungkinan koreksi (reflektif).
ReplyDeleteSekedar contoh, teori evolusi Marx yang kemudian menjadi ideologi dan ditelan oleh Lenin dengan Leninisme-nya.
Salam kenal, boleh tukeran link dong?
Boleh mas Rian, tapi tukeran link-nya gemana ? saya awam nge-blog nih hehe Iya, terkadang kita terlalu terkukung dalam sebuah teori atau pemikiran. Terlalu dalam kadang akan menggiring kita menjadi seorang fundamentalis, terkadang juga mempelajari terlalu dalam akan membuat kita hanya terus belajar - seperti fenomena baru di amerika "Marxisme Kamar Studi"
ReplyDelete