Wednesday, September 28, 2011

Tanpa Label


“Komunis adalah Racun !” Begitu kata sebagian teman mahasiswa saya, mereka mengatakan andai saja bukan Pramoedya Ananta Toer yang dipenjara atau kurang lebih 500 ribu orang lebih yang diduga Komunis atau Kiri yang dibunuh, maka Pramoedya Ananta Toer lah yang akan menggebuk para penulis Manifesto Kebudayaan atau kaum komunislah yang akan menghabisi mereka yang bukan komunis. Mereka yang mengatakan hal seperti itu bukan lagi para antek orde baru, mereka bahkan orang yang sangat kritis dan sadar akan kekejaman pemerintahan Orde Baru, inilah yang sedikit mengusik saya.


‘Kita tahu’ tapi mungkin sebagian teman saya lupa . . .

Sejarah Politik Indonesia modern bisa ditulis sebagai sejarah bekerjanya jepit dan stigma kata dari masa ke masa. Terkadang, orang lain menjebak orang lain dengan kata, menjerat diri dengan kata.  Gestapu, Gerakan September Tiga puluh, atau yang acap disapa G30S/PKI adalah sebuah jerat yang menakutkan sejak tahun 1970-an di bawah pemerintah Orde Baru, orang acap kali tak berkutik jika dijerat dengan kata Marxis, Komunis, PKI, ataupun Kiri. Apa arti sebenarnya Marxis ? Komunis ? PKI ? ataupun Kiri ? Tak penting lagi dikaji apa sebenarnya arti kata – kata itu. Orang – orang tak peduli lagi tentang apa yang terkandung atau tidak terkandung di dalamnya. Endapan racun ini berumur panjang, paranoia itu masih hadir tatkala orang mendengar kata ‘Komunis’ ataupun ‘Marxis’, juga setelah lebih dari 20 Tahun runtuhnya Partai Komunis terbesar dunia.

Pada saat itulah bermula kecurigaan jadi rumus, dan kebencian menjadi doktrin. Kita boleh berkhayal dengan jutaan mimpi, andai saja Komunis dibiarkan tumbuh dan berkembang maka merekalah yang akan menggebuk orang tidak berhaluan kiri. Tapi, bayangan hanya akan menjadi bayangan. Masih ada ratusan atau jutaan kemungkinan lagi yang akan terjadi andai kudeta Soeharto tidak terjadi. Tapi yang pasti dan telah berlalu kini adalah ratusan ribu orang dibunuh lalu dibuang ke kali tanpa pengadilan hanya karena mereka diduga komunis,  bahkan banyak diantara mereka bukan orang komunis atau berhaluan kiri.

Politik ketakutan yang dimainkan oleh Soeharto begitu dahsyat disini. Rasa takut memang dapat menjadi efektif untuk mengontrol masa. Dalam ketakutan, kita biasanya akan lari untuk mendapat perlindungan. Dalam ketakutan, kita biasanya tidak lagi bisa rasional: satu-satunya yang kita kuatirkan adalah keselamatan kita. Dalam ketakutan, kita akan lebih mudah tunduk pada yang berkuasa, karena kita mempercayai bahwa mereka dapat melindungi kita. Dan terkadang, kita tidak lagi perduli apapun yang mereka lakukan, asalkan kita selamat. Karena ketakutan yang teramat sangat, dapat membuat seseorang bersandar pada dua pilihan: ‘Membunuh atau dibunuh’. Sebuah logika yang tumpul – namun masih meresap dalam sanubari sebagian dari kita.

Sungguh, kita tak perlu membawa nama ‘Komunis’ untuk menjadi kejam begitu juga membawa – bawa nama ‘agama’ untuk menjadi bermoral. Kekejaman dan kriminalitas dapat terjadi atas nama keduanya. Kita tak perlu meringkas sesuatu atau melabeli sesuatu sebagai pelimpahan atas apa yang terjadi terhadap diri kita pada orang lain. Karena jika suatu hari anda menjadi sasaran dari serangan label seperti ini, anda pasti akan terheran – heran dengan penggambaran tersebut. Memang, hidup itu membingungkan. Hal yang pasti dalam hidup adalah ketidak-pastian, yang terkadang meresahkan. Memberi label pada pihak lain dapat memberi kita rasa nyaman dari dunia yang bukan kamar mati ini.

|||

Perbedaan, akan selalu hadir di dunia ini, karena itulah kita perlu rasa rendah hati untuk menerima ketidakpaduan ini. Kita masih seringkali mengingat tiap 30 September dan 1 Oktober telah terjadi pembunuhan. Di tahun 1965-1966 itu, mula-mula sejumlah jenderal, kemudian ratusan ribu orang Indonesia yang bukan jenderal dan tak bersalah bergelimpangan dibantai. Atau disiksa.

Sejak itu, di tanah tumpah darah ini, kita begitu takut, pedih, dan malu mengaku bersalah oleh keganasan itu. Semuanya kita masukkan ke dalam sebuah kata, ‘Gestapu’, seperti kita menyembunyikan sesuatu di dalam kotak. Kita gagap bila kita harus mengenangnya. Stigmasisasi semacam ini tidak hanya terjadi di era Orde Baru, di Era Demokrasi Terpimpin pimpinan Soekarno kata ‘Kontra-Revolusioner’ menjadi jerat, PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan Masyumi menjadi musuh politik yang digebuk oleh Orde Lama. Mereka yang dilabeli sebagai PSI dan Masyumi dimusuhi, surat kabarnya ditutup, mereka telah dijerat dengan kata untuk dijadikan musuh politik, buat digebuk. Di era ini, tampaknya orang mulai memproduksi stigma baru : ‘Neo-Liberalisme’, ‘Liberal’, ‘Sekuler’, ‘Fundamentalis’ dan dengan itu semua pertukaran pendapat tak lagi jernih yang ada hanyalah bunyi, kata, atau huruf yang ditebar dengan racun yang siap menjerat dan mengikat.

Saya juga tak pernah membayangkan jika kemudian hari, saya akan dijerat dengan label ataupun cap. Kita, mahasiswa, sebagai kaum akademisi seharusnya tidak hanya terkait dengan satu sistem, atau masuk ke dalam sistem, atau bahkan menamai sebuah sistem, kita harus bolak-balik dalam berbagai pemikiran dan seperti istilah Bung Hatta, kita harus “menukik lebih dalam” ke dalam percaturan teori dan filsafat untuk menjawab berbagai pertanyaan yang ada di dunia ini. Karena itulah saya sering merasa geli bila diberi dengan satu label, atau satu ‘isme’. “Terjebak dalam satu label itu lucu”, begitu kata kakak sepupu saya yang merupakan Aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) saat saya tanya mengapa ia membaca dengan tekun  buku Liu Shao-qi, How To be a Good Communist.

Bagi saya sikap terbaik adalah mengikuti apa yang saya gambarkan dari semangat Gus Dur: berjalan menjelajah dan memperlakukan keyakinan ideologis sebagai obor yang terang. Bukan sebagai benteng yang kaku. Mereka yang memperlakukan ideologi sebagai obor dalam penjelajahan hidup— memang punya risiko akan tampak sebagai seorang yang tak konsisten. Jangan-jangan akan jadi ‘revisionis.’ Atau ‘liberalis.’ Atau ‘murtad.’ Atau masuk ‘aliran sesat.’

Tidak penting lagi, untuk menganggap diri kita sebagai ‘Marhaenis’, ‘Marxis’, ‘Sosialis’, ataupun ‘Liberalis’. Semua itu mungkin penting, tapi semua itu adalah hal lumrah, tidak mempesona. Lumrah disini berarti seperti garam : meresap, merubah, memberi 'daya' pada makanan tanpa kelihatan, namun jika suatu waktu ‘garam’ itu terlalu kuat, ia perlu dikurangi kepekatannya. Karena itulah menjadi wajar jika kita harus berteriak : “Mari hilangkan label, karena kita butuh percakapan yang tenang, enak dan, maaf, produktif”.

2 comments:

  1. saya suka sekali dengan tulisan anda, terutama pada paragraf terakhir. Apa yang sering kita lupakan sebenarnya adalah berpikir sesuai dengan konteks, terkadang pemikiran yang terlalu mendalam pada sesuatu justru menutup kemungkinan koreksi (reflektif).

    Sekedar contoh, teori evolusi Marx yang kemudian menjadi ideologi dan ditelan oleh Lenin dengan Leninisme-nya.

    Salam kenal, boleh tukeran link dong?

    ReplyDelete
  2. Boleh mas Rian, tapi tukeran link-nya gemana ? saya awam nge-blog nih hehe Iya, terkadang kita terlalu terkukung dalam sebuah teori atau pemikiran. Terlalu dalam kadang akan menggiring kita menjadi seorang fundamentalis, terkadang juga mempelajari terlalu dalam akan membuat kita hanya terus belajar - seperti fenomena baru di amerika "Marxisme Kamar Studi"

    ReplyDelete