Wednesday, October 5, 2011

Pancasila Itu, Tidaklah Sakti

Selalu menarik membicarakan Pancasila, sebuah ideologi bangsa kita yang katanya sakti ini. Saya yang sejak lahir hidup di tanah tumpah darah ini tak pernah sekalipun berfikir untuk tak terpaut dengan Pancasila atau lupa tentang Pancasila. Pancasila hadir melalui teks, merajuk ke dalam tabula paling dalam, ia kekal disana. Namun, beberapa hari lalu, dalam mata kuliah Bisnis dan Politik, seorang asisten Dosen mengusik tabula itu, apa sebenarnya Pancasila itu ? Pertanyaan ini tentu mengetuk, mengusik, dan selalu menarik untuk dijawab, apalagi setelah itu kita, Indonesia, memperingati hari kesaktian Pancasila pada  1 Oktober.



Akankah kita terus dapat berjuang untuk perubahan bersama Pancasila, ketika hampir semua hal sudah diucapkan secara terbuka, dilakukan dengan keringat, tapi Indonesia hanya berubah beberapa senti. Apakah Pancasila gagal ?

Tentu sebuah hal yang membingungkan, saya yang tak pernah merasa ‘lepas’ dari Pancasila tiba – tiba ditanya tentang apa sebenarnya makna Pancasila, saktikah, kuatkah, relevankah ?  Membicarakan Pancasila memang tak jauh – jauh dari Soekarno, agak sulit memang menjawab pertanyaan itu bagi saya yang memang bukan seorang ‘Soekarnois’.  

Dulu, ketika Bung Karno menjelaskan, perlunya Indonesia mempunyai sebuah  pandangan tentang dunia dan kehidupan, ia sebenarnya sedang meniti jembatan untuk selamat sampai ke seberang. Sebab itu, jika ditelaah benar, pidato Lahirnya Pancasila yang terkenal pada tanggal 1 Juni 1945 itu mengandung beberapa kontradiksi – yang bagi saya menunjukkan bahwa Bung Karno sedang mencoba mengatasi berbagai hal yang bertentangan yang tengah dihadapi Indonesia.

Yang paling menonjol justru disini, sebuah pandangan tentang dunia dan kehidupan, atau sebuah ‘dasar filsafat’ yang melandasi persatuan bangsa yang berfungsi sebagai fondasi, perekat, sekaligus payung. Karena sebagai dasar itulah, Pancasila dianggap atau diharapkan sebagai sesuatu yang harus sempurna – sebuah kecendrungan yang mengeras, apalagi di era Orde Baru yang menganggap Pancasila itu ‘sakti’.

Jika demikian halnya, ia tak bisa diubah. Tapi timbul persoalan: bagaimana pandangan ini memungkinkan sebuah kehidupan politik yang, seperti dikatakan Bung Karno sendiri, niscaya mengandung ‘perjuangan faham’? Kata Bung Karno, tak ada sebuah negara yang hidup yang tak mengandung ‘kawah Candradimuka’ yang ‘mendidih’ di mana berbagai ‘faham’ beradu di dalam badan perwakilannya. Tak ada sebuah negara yang dinamis ‘kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya’.

Hal ini terwujud ketika Kiai Haji Isa Anshary, tokoh Partai Masyumi dari Jawa Barat saat terpilih menjadi anggota Konstituante saat pemilihan 1955, dewan perwakilan yang bertugas merumuskan konstitusi. Ketika pada November 1956 sampai Juni 1959 perdebatan berlangsung—untuk menentukan manakah yang akan jadi dasar negara, Pancasila atau Islam— beginilah yang diungkapkan Isa Anshary :

”Kalau saudara-saudara mengaku Islam, sembahyang secara Islam, puasa secara Islam, kawin secara Islam, mau mati secara Islam, saudara-saudara terimalah Islam sebagai Dasar Negara. [Tapi] kalau saudara-saudara menganggap bahwa Pancasila itu lebih baik dari Islam, lebih sempurna dari Islam, lebih universal dari Islam, kalau saudara-saudara berpendapat ajaran dan hukum Islam itu tidak dan tidak patut untuk dijadikan Dasar Negara… orang demikian itu murtadlah dia dari Agama, kembalilah menjadi kafir, haram jenazahnya dikuburkan secara Islam, tidak halal baginya istri yang sudah dikawininya secara Islam….

Pidato itu, dicatat dalam salah satu dari 17 jilid Risalah Perundingan Tahun 1957, yang diterbitkan Sekretariat Konstituante—dan dikutip dalam buku Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia—sebenarnya tak menunjukkan perkembangan baru dalam sikap Isa Anshary. Sudah pada tahun 1951, dalam majalah Hikmah, ia menyatakan, ”Hanya orang yang sudah bejat moral, iman dan Islamnya, yang tidak menyetujui berdirinya Negara Islam Indonesia.”

Disinilah Pancasila hadir, seperti kata sang asisten dosen itu, “Pancasila itu kadang terlalu moderat hingga terkadang menjadi absurd”. Pancasila seolah menganjurkan agar ‘pihak Islam’ menerima berdirinya sebuah negara yang ‘satu buat semua, semua buat satu’. Ia menolak ‘egoisme-agama’. Tapi ia juga membuka diri kepada kemungkinan ini : bisa saja suatu saat nanti hukum yang ditegakkan di Indonesia adalah hukum Islam – jika ‘utusan-utusan Islam’ menduduki ‘sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan rakyat’.

Disini tampak, ‘perjuangan faham’ untuk merebut hegemoni adalah sebuah perjuangan yang wajar dan sah. Jadi dengan demikian, Pancasila yang merupakan sebuah pandangan tentang dunia dan kehidupan bukanlah fondasi yang kekal, tak bisa rubuh. Karena itulah, ada kemungkinan satu ‘faham’ atau saya gambarkan diatas sebagai ‘Islam’ dapat menerobos dan mengambil alih ‘filsafat dasar’ itu. Karena itulah, Pancasila bukan merupakan barang yang ‘sakti’.

Akan tetapi, Pancasila justru berarti, karena ia tidak ‘sakti’. Mengutip pidato Goenawan Mohammad dalam pidato peluncuran politikana.com di Gedung Teater Komunitas Salihara, Jakarta, setidaknya ada tiga kesalahan besar ‘Orde Baru’ dalam memandang kelima ‘prinsip’ itu. Yang pertama adalah membuat Pancasila hampir – hampir keramat. Yang kedua, membuat Pancasila bagian dari bahasa, bahkan simbol eksklusif yang berkuasa. Yang ketiga, mendukung Pancasila dengan ancaman kekerasan.

Kini setelah era itu, kita harus sadar bahwa kita membutuhkan Pancasila – bukan sebagai sesuatu yang ‘suci’ ataupun ‘sakti’, untuk meniti jembatan agar kita dapat selamat mencapai persatuan dalam perbedaan. Karena itulah tepat jika Bung Karno menggunakan kata ‘menggali’ saat merumuskan Pancasila, seolah – olah kata ‘menggali’ itu membuat Pancasila dapat dianalisis lebih lanjut. Ia tak menolak tafsir kreatif dikemudian hari. Pancasila bukanlah doktrin, karena itulah Bung Karno percaya bahwa : Tak ada satupun teori revolusi yang ‘ready for use’.

Yang juga tampak dalam keterbukaan untuk kreatifitas itu adalah sifatnya yang tak bisa mutlak. Tiap ‘sila’ mau tak mau harus diimbangi oleh ‘sila’ yang lain: bangsa ini tak akan bisa hanya menjalankan ‘sila’ keberagamaan (‘Ketuhanan Yang Maha Esa’) tanpa juga diimbangi ‘sila’ kesatuan bangsa (‘kebangsaan Indonesia’), dan sebaliknya. Kita juga tak akan patut dan tak akan bisa bila kita ingin menerapkan ‘sila’ nasionalisme tanpa diimbangi perikemanusiaan, dan begitulah seterusnya. Memutlakkan satu ‘sila’ saja akan melahirkan kesewenangwenangan, begitu lanjutan pidato Goenawan Mohammad.

Kita membutuhkan Pancasila kembali karena kita perlu bicara yakin kepada mereka yang mendadak merasa lebih tinggi ketimbang sebuah Republik yang didirikan dengan darah dan keringat berbagai penghuninya – Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, ataupun atheis -- perjuangan yang lebih lama ketimbang 66 tahun.

Kita membutuhkan Pancasila sebagai sebuah proses yang berjalan terus menerus. Pancasila adalah ‘harapan’ bukanlah sebuah ‘kepastian’, karena Pancasila lahir dari pemikiran Bung Karno, yang betapapun dahsyatnya, tetap seorang manusia yang punya cacat. Seperti kata Marx : ‘Manusia membuat sejarah, tapi dalam kondisi yang tak dipilihnya sendiri’

No comments:

Post a Comment