Akankah kita
terus dapat berjuang untuk perubahan bersama Pancasila, ketika hampir semua hal
sudah diucapkan secara terbuka, dilakukan dengan keringat, tapi Indonesia hanya
berubah beberapa senti. Apakah Pancasila gagal ?
Tentu sebuah
hal yang membingungkan, saya yang tak pernah merasa ‘lepas’ dari Pancasila tiba
– tiba ditanya tentang apa sebenarnya makna Pancasila, saktikah, kuatkah,
relevankah ? Membicarakan Pancasila
memang tak jauh – jauh dari Soekarno, agak sulit memang menjawab pertanyaan itu
bagi saya yang memang bukan seorang ‘Soekarnois’.
Dulu, ketika
Bung Karno menjelaskan, perlunya Indonesia mempunyai sebuah pandangan tentang dunia dan kehidupan, ia
sebenarnya sedang meniti jembatan untuk selamat sampai ke seberang. Sebab itu,
jika ditelaah benar, pidato Lahirnya Pancasila yang terkenal pada
tanggal 1 Juni 1945 itu mengandung beberapa kontradiksi – yang bagi saya
menunjukkan bahwa Bung Karno sedang mencoba mengatasi berbagai hal yang
bertentangan yang tengah dihadapi Indonesia.
Yang paling
menonjol justru disini, sebuah pandangan tentang dunia dan kehidupan, atau
sebuah ‘dasar filsafat’ yang melandasi persatuan bangsa yang berfungsi sebagai
fondasi, perekat, sekaligus payung. Karena sebagai dasar itulah, Pancasila
dianggap atau diharapkan sebagai sesuatu yang harus sempurna – sebuah
kecendrungan yang mengeras, apalagi di era Orde Baru yang menganggap Pancasila
itu ‘sakti’.
Jika demikian
halnya, ia tak bisa diubah. Tapi timbul persoalan: bagaimana pandangan ini
memungkinkan sebuah kehidupan politik yang, seperti dikatakan Bung Karno
sendiri, niscaya mengandung ‘perjuangan faham’? Kata Bung Karno, tak ada sebuah
negara yang hidup yang tak mengandung ‘kawah Candradimuka’ yang ‘mendidih’ di
mana berbagai ‘faham’ beradu di dalam badan perwakilannya. Tak ada sebuah
negara yang dinamis ‘kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya’.
Hal ini
terwujud ketika Kiai Haji Isa Anshary, tokoh Partai Masyumi dari Jawa Barat saat
terpilih menjadi anggota Konstituante saat pemilihan 1955, dewan perwakilan
yang bertugas merumuskan konstitusi. Ketika pada November 1956 sampai Juni 1959
perdebatan berlangsung—untuk menentukan manakah yang akan jadi dasar negara,
Pancasila atau Islam— beginilah yang diungkapkan Isa Anshary :
”Kalau
saudara-saudara mengaku Islam, sembahyang secara Islam, puasa secara Islam,
kawin secara Islam, mau mati secara Islam, saudara-saudara terimalah Islam
sebagai Dasar Negara. [Tapi] kalau saudara-saudara menganggap bahwa Pancasila
itu lebih baik dari Islam, lebih sempurna dari Islam, lebih universal dari
Islam, kalau saudara-saudara berpendapat ajaran dan hukum Islam itu tidak dan
tidak patut untuk dijadikan Dasar Negara… orang demikian itu murtadlah dia dari
Agama, kembalilah menjadi kafir, haram jenazahnya dikuburkan secara Islam,
tidak halal baginya istri yang sudah dikawininya secara Islam….
Pidato itu,
dicatat dalam salah satu dari 17 jilid Risalah Perundingan Tahun 1957, yang
diterbitkan Sekretariat Konstituante—dan dikutip dalam buku Adnan Buyung
Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia—sebenarnya tak
menunjukkan perkembangan baru dalam sikap Isa Anshary. Sudah pada tahun 1951,
dalam majalah Hikmah, ia menyatakan, ”Hanya orang yang sudah bejat moral, iman
dan Islamnya, yang tidak menyetujui berdirinya Negara Islam Indonesia.”
Disinilah
Pancasila hadir, seperti kata sang asisten dosen itu, “Pancasila itu kadang
terlalu moderat hingga terkadang menjadi absurd”. Pancasila seolah menganjurkan
agar ‘pihak Islam’ menerima berdirinya sebuah negara yang ‘satu buat semua,
semua buat satu’. Ia menolak ‘egoisme-agama’. Tapi ia juga membuka diri kepada
kemungkinan ini : bisa saja suatu saat nanti hukum yang ditegakkan di Indonesia
adalah hukum Islam – jika ‘utusan-utusan Islam’ menduduki ‘sebagian yang
terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan rakyat’.
Disini
tampak, ‘perjuangan faham’ untuk merebut hegemoni adalah sebuah perjuangan yang
wajar dan sah. Jadi dengan demikian, Pancasila yang merupakan sebuah pandangan
tentang dunia dan kehidupan bukanlah fondasi yang kekal, tak bisa rubuh. Karena
itulah, ada kemungkinan satu ‘faham’ atau saya gambarkan diatas sebagai ‘Islam’
dapat menerobos dan mengambil alih ‘filsafat dasar’ itu. Karena itulah,
Pancasila bukan merupakan barang yang ‘sakti’.
Akan
tetapi, Pancasila justru berarti, karena ia tidak ‘sakti’. Mengutip pidato
Goenawan Mohammad dalam pidato
peluncuran politikana.com di Gedung Teater Komunitas Salihara, Jakarta,
setidaknya ada tiga kesalahan besar ‘Orde Baru’ dalam memandang kelima ‘prinsip’
itu. Yang pertama adalah membuat Pancasila hampir – hampir keramat. Yang kedua,
membuat Pancasila bagian dari bahasa, bahkan simbol eksklusif yang berkuasa.
Yang ketiga, mendukung Pancasila dengan ancaman kekerasan.
Kini
setelah era itu, kita harus sadar bahwa kita membutuhkan Pancasila – bukan
sebagai sesuatu yang ‘suci’ ataupun ‘sakti’, untuk meniti jembatan agar kita
dapat selamat mencapai persatuan dalam perbedaan. Karena itulah tepat jika Bung
Karno menggunakan kata ‘menggali’ saat merumuskan Pancasila, seolah – olah kata
‘menggali’ itu membuat Pancasila dapat dianalisis lebih lanjut. Ia tak menolak
tafsir kreatif dikemudian hari. Pancasila bukanlah doktrin, karena itulah Bung Karno
percaya bahwa : Tak ada satupun teori revolusi yang ‘ready for use’.
Yang
juga tampak dalam keterbukaan untuk kreatifitas itu adalah sifatnya yang tak
bisa mutlak. Tiap ‘sila’ mau tak mau harus diimbangi oleh ‘sila’ yang lain:
bangsa ini tak akan bisa hanya menjalankan ‘sila’ keberagamaan
(‘Ketuhanan Yang Maha Esa’) tanpa juga diimbangi ‘sila’ kesatuan bangsa
(‘kebangsaan Indonesia’), dan sebaliknya. Kita juga tak akan patut dan tak akan
bisa bila kita ingin menerapkan ‘sila’ nasionalisme tanpa diimbangi
perikemanusiaan, dan begitulah seterusnya. Memutlakkan satu ‘sila’ saja akan
melahirkan kesewenangwenangan, begitu lanjutan pidato Goenawan Mohammad.
Kita
membutuhkan Pancasila kembali karena kita perlu bicara yakin kepada mereka yang
mendadak merasa lebih tinggi ketimbang sebuah Republik yang didirikan dengan
darah dan keringat berbagai penghuninya – Islam, Kristen, Hindu, Budha,
Konghucu, ataupun atheis -- perjuangan yang lebih lama ketimbang 66 tahun.
Kita
membutuhkan Pancasila sebagai sebuah proses yang berjalan terus menerus.
Pancasila adalah ‘harapan’ bukanlah sebuah ‘kepastian’, karena Pancasila lahir
dari pemikiran Bung Karno, yang betapapun dahsyatnya, tetap seorang manusia
yang punya cacat. Seperti kata Marx : ‘Manusia membuat sejarah, tapi dalam
kondisi yang tak dipilihnya sendiri’
No comments:
Post a Comment