Untuk para buruh di Papua, Jakarta, Palembang, dan seluruh pelosok Negeri. Kalian tidak sedang bermimpi, tapi justru tengah bangun dari mimpi buruk
Banyak sejumlah pemikir murung yang berbicara tentang manusia dan kehidupan, mereka berkata kini tak ada lagi harapan, manusia telah menjadi subyek. Kapitalisme telah merasuk kemana – mana pada abad ke-21 ini, segala lini kehidupan telah dirasuki ‘Sang Modal Besar’.
Kita seolah tak sanggup lagi
melawan, perlawanan kepada ‘Sang Modal Besar’ seperti sebuah pisau tumpul. Tak
ada efek. Tidak ada lagi gagasan ‘sosialisme ilmiah’ yang pernah dikemukakan
Marx dan Engels yang meramalkan akan terwujudnya ‘surga dunia’ di Bumi, dimana
kapitalisme hilang dari masyarakat dan kita tak akan pernah berjumpa lagi dengan
kontradiksi. Tapi cita – cita ini terbentur pada kenyataan bahwa pada akhir
abad ke-20 : Uni Soviet dan China yang merupakan motor sosialisme telah dengan
ikhlas menerima ‘jalan kapitalis’. Akhirnya Marxisme harus mengakui bahwa kehidupan
manusia tak akan pernah lepas dari kontradiksi.
Kapitalisme, pasar, modernitas,
dan modal besar memang menyedihkan karena disanalah manusia mulai tak dihargai.
Disana adalah tempat dimana orang didekat
kita adalah pesaing kita. la mendesak kita untuk berpacu. Kita ingin
mengalahkannya dan ia ingin mengalahkan kita. Di dalam pasar, rasa iri bukan
hal yang salah, rakus bisa jadi bagus, dan keduanya dilembagakan dalam sebuah
sistem. Kini setelah Marxisme dan yang lainnya kalah, kita tak pernah mendengar
lagi letupan revolusi. Buruh – buruh seolah bahagia bekerja tanpa ‘jiwa’ karena
tak ada yang menyatukan, sekalipun ada hanyalah protes kecil yang terpecah. Mereka hanya bisa mencaci,
mencerca, atau bahkan tertawa. Selebihnya, ilusi.
Jika kita menilik buku Francais
Fukuyama, ‘The End of History’, kita akan berjumpa dengan suatu hal yang ia
sebut sebagai ‘akhir zaman’. Disini individu
terdorong jadi pragmatis. ‘Akhir sejarah akan merupakan sebuah peristiwa yang
amat sedih. Perjuangan untuk diakui, kehendak untuk mengambil risiko mati bagi
sebuah cita-cita yang sepenuhnya abstrak, pergulatan ideologis sedunia yang
menggugah tualang, keberanian, imajinasi, dan idealisme, akan digantikan oleh perhitungan
ekonomis, keprihatinan soal lingkungan dan pemuasan permintaan konsumen yang
kian canggih’ itulah yang ditulis Fukuyama dengan murung. Yang nyata di tengah
kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal adalah di benak manusia sudah tak
ada lagi ideologi, segala lakon dalam hidup, selalu di hitung dengan sesuatu
yang purba : uang.
Di tengah semua kemurungan itu,
lantas apa yang dapat kita lakukan ? Pertanyaan ini jadi penting bagi kita
rakyat Indonesia. Kita tahu dan tak perlu sungkan mengakui, Marxisme yang dulu
menjadi harapan untuk mengubah dunia masih ada sisa – sisanya di tanah air ini,
di tulisan – tulisan Bung Karno atau Tan Malaka, Marxisme juga pernah menjadi
inspirasi Sjahrir untuk membentuk Partai Sosialis Indonesia – juga oleh para
tokoh Partai Komunis Indonesia. Pada periode akhir 1965-an paham ini dilarang,
tapi paham ini justru memikat para anak muda dan para cendekia Indonesia, paham
ini menjadi lambang pembangkangan atas geliat kapitalisme.
Tapi biar bagaimanapun Marxisme
bukanlah sistem yang tanpa cela, seperti kata Marx sendiri “Manusia membuat
sejarah, tapi dalam kondisi yang tak dipilihnya sendiri.” Dengan kata lain,
manusia tak bisa sepenuhnya lepas dari kondisi yang ada dan juga kesalahan pada
saat itu – dan bahkan, dalam membuat perubahan, tradisi masa lalu terus saja
menghantuinya. Misalnya, disana tak dirumuskan bagaimana menangkal ‘kediktatoran
proletariat’ atau buruh yang sebagai motor revolusi terkadang berada dalam
posisi yang kolot dan ogah untuk melakukan revolusi – sebuah gerakan yang
merubuhkan kemudian membangun.
Kini mari kita bertanya pada diri
kita, apakah cengkeraman kapitalisme telah begitu total ? Bagi saya, tidak !
Kapitalisme dan Neo-Liberalisme mulai
tahun 2008 terjerembab, ia tak seimbang, oleng, dan tak lagi stabil. Di
Australia misalnya Kevin Rudd, mantan perdana menteri Australia dari Partai
Buruh pernah mengatakan bahwa krisis yang menghantam dunia kini adalah titik
puncak dari kapitalisme yang telah mengikat sejak 1978. Atau seperti kata
Presiden Perancis Nicholas Sarkozy, “Pikiran bahwa pasar adalah serba-kuasa dan
tak dapat ditentang oleh aturan apa pun dan oleh intervensi politik macam apa
pun adalah pikiran yang gila”. Ini adalah tanda, ada celah yang dapat dibuka
untuk menggoyang episentrum kapitalisme.
Ini bisa dilihat sejak sekitaran
bulan September lalu, di area Distrik Finansial New York sekitar 2.000-an orang
berkumpul, berteriak sama untuk menggebrak kekuasaan modal : Occupy Wall Street
! Telah terjadi ketimpangan disana, pengangguran bertambah, dan juga menurunnya
pendapatan rata – rata. Ini tak jauh beda dengan protes yang ada di Mesir, saat
rakyat disana mencoba melawan kediktatoran Mubarak, “Let us globalise Tahrir Square !” begitu kata mereka.
Kapitalisme kadang juga punya
penangkalnya sendiri, lihatlah Che Guevara. Ketika Revolusi Kuba berhasil
menang secara politik, ia menolak untuk menikmatinya. Ia meninggalkan Havana,
meninggalkan posisinya sebagai menteri, dan kembali mengarungi hutan:
menggerakkan petani, memimpin gerilya, mengubah dunia. Ia gagal karena tewas di
tangan tentara Bolivia. Tapi ia jadi lambang perlawanan terhadap kapitalisme,
juga simbol keberanian dan imajinasi yang tak betah hidup dengan hanya
perhitungan ekonomi. Ia menolak sejarah berakhir dalam bentuk seperti Amerika
Serikat: sebuah ekonomi yang selalu dirundung kepincangan sosial.
Marxisme memang telah gagal, Che
Guevara yang banyak gambarnya di kaus – kaus juga telah terbunuh. Selama
puluhan tahun terakhir Marxisme telah didiskreditkan secara luas, dan hampir di
seluruh dunia tidak terdengar lagi rencana Marxis untuk “mengubah dunia”. Yang
tersisa adalah “menerangkan dunia”—terutama di jurnal-jurnal pemikiran dan
seminar-seminar.
Kini, ‘Gema Occupy Wall Street !’
telah sampai ke Jakarta - krisis yang
sama menyebar juga ke Yunani, Italia, dan juga Portugal, tapi sebagian orang
percaya bahwa keruntuhan kapitalisme masih jauh. Tapi, inilah yang menyebabkan
kita semua sampai pada kearifan : manusia bukanlah pusat pergerakan yang serba perkasa
sepanjang zaman.
Tapi meskipun begitu, kita tak
perlu merasa minder. Seperti dalam testament Leon Trotsky – tokoh yang juga
gagal karena dibunuh rezim Stalin dan konon menginspirasi Che Guevara, “Selama
43 Tahun kehidupan saya, saya masih tetap seorang revolusioner. Kepercayaan
saya terhadap masa depan cerah umat manusia tidaklah berkurang, sebaliknya ia
bertambah kuat dibandingkan saat hari – hari muda saya. Hidup itu indah.
Biarlah generasi depan yang membersihkan dunia dari semua yang jahat, opresi,
dan juga kekejaman”.
Kita memang tengah belajar, hidup
memang selalu meninggalkan bekas bila ia serius dalam perjuangan pembebasan, ‘api’
perjuangan akan terus menyala, setidaknya bila kita menolak untuk mengatakan :
Perang telah usai.
No comments:
Post a Comment