Sunday, November 20, 2011

Ketika Tak Ada Lagi Revolusi

Untuk para buruh di Papua, Jakarta, Palembang, dan seluruh pelosok Negeri. Kalian tidak   sedang bermimpi, tapi justru tengah bangun dari mimpi buruk

Banyak sejumlah pemikir murung yang berbicara tentang manusia dan kehidupan, mereka berkata kini tak ada lagi harapan, manusia telah menjadi subyek. Kapitalisme telah merasuk kemana – mana pada abad ke-21 ini, segala lini kehidupan telah dirasuki ‘Sang Modal Besar’. 


Kita seolah tak sanggup lagi melawan, perlawanan kepada ‘Sang Modal Besar’ seperti sebuah pisau tumpul. Tak ada efek. Tidak ada lagi gagasan ‘sosialisme ilmiah’ yang pernah dikemukakan Marx dan Engels yang meramalkan akan terwujudnya ‘surga dunia’ di Bumi, dimana kapitalisme hilang dari masyarakat dan kita tak akan pernah berjumpa lagi dengan kontradiksi. Tapi cita – cita ini terbentur pada kenyataan bahwa pada akhir abad ke-20 : Uni Soviet dan China yang merupakan motor sosialisme telah dengan ikhlas menerima ‘jalan kapitalis’. Akhirnya Marxisme harus mengakui bahwa kehidupan manusia tak akan pernah lepas dari kontradiksi.

Kapitalisme, pasar, modernitas, dan modal besar memang menyedihkan karena disanalah manusia mulai tak dihargai. Disana  adalah tempat dimana orang didekat kita adalah pesaing kita. la mendesak kita untuk berpacu. Kita ingin mengalahkannya dan ia ingin mengalahkan kita. Di dalam pasar, rasa iri bukan hal yang salah, rakus bisa jadi bagus, dan keduanya dilembagakan dalam sebuah sistem. Kini setelah Marxisme dan yang lainnya kalah, kita tak pernah mendengar lagi letupan revolusi. Buruh – buruh seolah bahagia bekerja tanpa ‘jiwa’ karena tak ada yang menyatukan, sekalipun ada hanyalah protes kecil  yang terpecah. Mereka hanya bisa mencaci, mencerca, atau bahkan tertawa. Selebihnya, ilusi.

Jika kita menilik buku Francais Fukuyama, ‘The End of History’, kita akan berjumpa dengan suatu hal yang ia sebut sebagai ‘akhir zaman’.  Disini individu terdorong jadi pragmatis. ‘Akhir sejarah akan merupakan sebuah peristiwa yang amat sedih. Perjuangan untuk diakui, kehendak untuk mengambil risiko mati bagi sebuah cita-cita yang sepenuhnya abstrak, pergulatan ideologis sedunia yang menggugah tualang, keberanian, imajinasi, dan idealisme, akan digantikan oleh perhitungan ekonomis, keprihatinan soal lingkungan dan pemuasan permintaan konsumen yang kian canggih’ itulah yang ditulis Fukuyama dengan murung. Yang nyata di tengah kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal adalah di benak manusia sudah tak ada lagi ideologi, segala lakon dalam hidup, selalu di hitung dengan sesuatu yang purba : uang.

Di tengah semua kemurungan itu, lantas apa yang dapat kita lakukan ? Pertanyaan ini jadi penting bagi kita rakyat Indonesia. Kita tahu dan tak perlu sungkan mengakui, Marxisme yang dulu menjadi harapan untuk mengubah dunia masih ada sisa – sisanya di tanah air ini, di tulisan – tulisan Bung Karno atau Tan Malaka, Marxisme juga pernah menjadi inspirasi Sjahrir untuk membentuk Partai Sosialis Indonesia – juga oleh para tokoh Partai Komunis Indonesia. Pada periode akhir 1965-an paham ini dilarang, tapi paham ini justru memikat para anak muda dan para cendekia Indonesia, paham ini menjadi lambang pembangkangan atas geliat kapitalisme.

Tapi biar bagaimanapun Marxisme bukanlah sistem yang tanpa cela, seperti kata Marx sendiri “Manusia membuat sejarah, tapi dalam kondisi yang tak dipilihnya sendiri.” Dengan kata lain, manusia tak bisa sepenuhnya lepas dari kondisi yang ada dan juga kesalahan pada saat itu – dan bahkan, dalam membuat perubahan, tradisi masa lalu terus saja menghantuinya. Misalnya, disana tak dirumuskan bagaimana menangkal ‘kediktatoran proletariat’ atau buruh yang sebagai motor revolusi terkadang berada dalam posisi yang kolot dan ogah untuk melakukan revolusi – sebuah gerakan yang merubuhkan kemudian membangun.

Kini mari kita bertanya pada diri kita, apakah cengkeraman kapitalisme telah begitu total ? Bagi saya, tidak !

Kapitalisme dan Neo-Liberalisme mulai tahun 2008 terjerembab, ia tak seimbang, oleng, dan tak lagi stabil. Di Australia misalnya Kevin Rudd, mantan perdana menteri Australia dari Partai Buruh pernah mengatakan bahwa krisis yang menghantam dunia kini adalah titik puncak dari kapitalisme yang telah mengikat sejak 1978. Atau seperti kata Presiden Perancis Nicholas Sarkozy, “Pikiran bahwa pasar adalah serba-kuasa dan tak dapat ditentang oleh aturan apa pun dan oleh intervensi politik macam apa pun adalah pikiran yang gila”. Ini adalah tanda, ada celah yang dapat dibuka untuk menggoyang episentrum kapitalisme.

Ini bisa dilihat sejak sekitaran bulan September lalu, di area Distrik Finansial New York sekitar 2.000-an orang berkumpul, berteriak sama untuk menggebrak kekuasaan modal : Occupy Wall Street ! Telah terjadi ketimpangan disana, pengangguran bertambah, dan juga menurunnya pendapatan rata – rata. Ini tak jauh beda dengan protes yang ada di Mesir, saat rakyat disana mencoba melawan kediktatoran Mubarak, “Let us globalise Tahrir Square !” begitu kata mereka.

Kapitalisme kadang juga punya penangkalnya sendiri, lihatlah Che Guevara. Ketika Revolusi Kuba berhasil menang secara politik, ia menolak untuk menikmatinya. Ia meninggalkan Havana, meninggalkan posisinya sebagai menteri, dan kembali mengarungi hutan: menggerakkan petani, memimpin gerilya, mengubah dunia. Ia gagal karena tewas di tangan tentara Bolivia. Tapi ia jadi lambang perlawanan terhadap kapitalisme, juga simbol keberanian dan imajinasi yang tak betah hidup dengan hanya perhitungan ekonomi. Ia menolak sejarah berakhir dalam bentuk seperti Amerika Serikat: sebuah ekonomi yang selalu dirundung kepincangan sosial.

Marxisme memang telah gagal, Che Guevara yang banyak gambarnya di kaus – kaus juga telah terbunuh. Selama puluhan tahun terakhir Marxisme telah didiskreditkan secara luas, dan hampir di seluruh dunia tidak terdengar lagi rencana Marxis untuk “mengubah dunia”. Yang tersisa adalah “menerangkan dunia”—terutama di jurnal-jurnal pemikiran dan seminar-seminar.

Kini, ‘Gema Occupy Wall Street !’ telah sampai ke Jakarta -  krisis yang sama menyebar juga ke Yunani, Italia, dan juga Portugal, tapi sebagian orang percaya bahwa keruntuhan kapitalisme masih jauh. Tapi, inilah yang menyebabkan kita semua sampai pada kearifan : manusia bukanlah pusat pergerakan yang serba perkasa sepanjang zaman.

Tapi meskipun begitu, kita tak perlu merasa minder. Seperti dalam testament Leon Trotsky – tokoh yang juga gagal karena dibunuh rezim Stalin dan konon menginspirasi Che Guevara, “Selama 43 Tahun kehidupan saya, saya masih tetap seorang revolusioner. Kepercayaan saya terhadap masa depan cerah umat manusia tidaklah berkurang, sebaliknya ia bertambah kuat dibandingkan saat hari – hari muda saya. Hidup itu indah. Biarlah generasi depan yang membersihkan dunia dari semua yang jahat, opresi, dan juga kekejaman”.

Kita memang tengah belajar, hidup memang selalu meninggalkan bekas bila ia serius dalam perjuangan pembebasan, ‘api’ perjuangan akan terus menyala, setidaknya bila kita menolak untuk mengatakan : Perang telah usai.  

No comments:

Post a Comment