Sunday, October 14, 2012

Mengaktifkan Politik Akal Sehat


Pesimisme menghantui kondisi demokrasi kita hari – hari belakangan ini. Dan republik telah dikelola oleh politik akal miring. Hal ini karena politik tidak diselenggarakan di ruang publik, tetapi ditransaksikan secara personal. Tukar tambah kekuasaan berlangsung bukan atas dasar kalkulasi ideologis, kita tak lagi melihat sekat ideologis antar partai, seolah – olah kini hanya ada satu partai dengan berbagai cabang : cabang Demokrat, cabang Golkar, cabang PKS, dan lain sebagainya. Padahal sesungguhnya politik adalah transaksi ide, yang kemudian diucapkan sebagai ideologi guna melatih kecerdasan publik.


Setelah satu dasawarsa lebih reformasi berlangsung, kita memang telah memiliki perlengkapan demokrasi yang lengkap (mahkamah konstitusi, parlemen, partai, pemilu)  tetapi yang mengalir didalamnya adalah paham ‘mumpungisme’. Kita memiliki partai tapi gagal memberikan nafas kenegarawanan bagi politisinya. Kita memiliki dewan perwakilan rakyat, tapi tanpa etos parlementarian. Inilah tanda bahwa demokrasi kita kini dikuasai oleh elit medioker yang tanpa keahlian etos dan intelektual.

Atau lihat saja bagaimana kelas menengah republik ini, “kelas” yang memilih berideologi rasa aman, kelas yang menjengkelkan pembaca Marx karena hanya tumbuh dalam kapitalisme tanpa kehendak “investasi”, juga tanpa keinginan “revolusi”. Nikmat ekonomi semu yang dimiliki kelas menengah hari – hari ini membuat mereka hanya bereaksi bila kepentingannya terhalang. Urusan memproduksi perubahan bukanlah kepentingannya. Dengan jumlah yang begitu besar tentu kita berharap bahwa kelas ini dapat bersuara lebih banyak soal pluralisme, toleransi, dan keadilan. Jika kita tak mendengar suara itu, tentu sangat mudah menjelaskan bagaimana mental kejiwaan kelas pembayar pajak ini.

Tapi tentu kita tak boleh terus terbenam dalam pesimisme. Mumpungisme dan mediokrasi elit memang telah mengurung demokrasi kita dalam kepicikan, karena itulah politik akal sehat harus segera diaktifkan, dengan begitu yang kita pedulikan adalah arah pikiran generasi ke depan, bukan hanya arah politik hari – hari ini. Hal ini menjadi wajib karena demokrasi tidak hanya hidup dari politik hari ini, tapi dari pikiran yang melampaui kondisi kekinian. 

Karena itulah, kita harus segera membangun kurikulum "kewarganegaraan" dalam semua jenjang pendidikan nasional. Ini menjadi sangat penting karena kewarganegaraan dapat mewujudkan percakapan diantara mereka yang tidak fanatik. Terlebih setelah konsep masyarakat di dalam kurikulum sekolah tidak diajarkan sebagai tanggung jawab merawat hidup bersama. Konsep etika publik tidak diajarkan sebagai keutamaan kehidupan bermasyarakat. Karena itu jangan heran jika kita melihat bahwa masyarakat kita begitu mudah tersulut konflik, rajutan karpet kebangsaan mulai robek disana – sini, ajakan persatuan dan kesatuan oleh elit seolah angin lalu yang tak perlu digubris.

Berangkat dari kondisi itulah kita memahami bahwa ide republik bukan semata-mata sebagai instalasi politik teknis, tetapi sebagai struktur percakapan etis. Di dalam Republik-lah manusia menyelenggarakan dirinya sebagai "zoon politicon", merundingkan kepentingan bersama, memutuskan keadilan dan mendistribusikan kebutuhan dasar. Proses ini mengandaikan kebebasan dan kesetaraan. Itulah sifat publik dari politik.

Kita memelihara republik, karena hanya dalam ruang politik itulah pikiran individu memperoleh kesempatan untuk diperiksa secara publik. Kita memelihara republik karena kita ingin hidup dalam kesetaraan, kemajemukan dan keadilan. Marilah merawat republik dengan mengaktifkan politik akal sehat, agar kita dapat tidur nyenyak sepanjang malam, agar esok pagi dalam pemilu kita dapat memilih ide, bukan benda.

No comments:

Post a Comment