Pesimisme
menghantui kondisi demokrasi kita hari – hari belakangan ini. Dan republik
telah dikelola oleh politik akal miring. Hal ini karena politik tidak
diselenggarakan di ruang publik, tetapi ditransaksikan secara personal. Tukar
tambah kekuasaan berlangsung bukan atas dasar kalkulasi ideologis, kita tak
lagi melihat sekat ideologis antar partai, seolah – olah kini hanya ada satu
partai dengan berbagai cabang : cabang Demokrat, cabang Golkar, cabang PKS, dan
lain sebagainya. Padahal sesungguhnya politik adalah transaksi ide, yang
kemudian diucapkan sebagai ideologi guna melatih kecerdasan publik.
Setelah satu dasawarsa lebih
reformasi berlangsung, kita memang telah memiliki perlengkapan demokrasi yang
lengkap (mahkamah konstitusi, parlemen, partai, pemilu) tetapi yang mengalir didalamnya adalah paham ‘mumpungisme’.
Kita memiliki partai tapi gagal memberikan nafas kenegarawanan bagi
politisinya. Kita memiliki dewan perwakilan rakyat, tapi tanpa etos
parlementarian. Inilah tanda bahwa demokrasi kita kini dikuasai oleh elit
medioker yang tanpa keahlian etos dan intelektual.
Atau lihat saja bagaimana kelas
menengah republik ini, “kelas” yang memilih berideologi rasa aman, kelas yang
menjengkelkan pembaca Marx karena hanya tumbuh dalam kapitalisme tanpa kehendak
“investasi”, juga tanpa keinginan “revolusi”. Nikmat ekonomi semu yang dimiliki
kelas menengah hari – hari ini membuat mereka hanya bereaksi bila kepentingannya
terhalang. Urusan memproduksi perubahan bukanlah kepentingannya. Dengan jumlah
yang begitu besar tentu kita berharap bahwa kelas ini dapat bersuara lebih
banyak soal pluralisme, toleransi, dan keadilan. Jika kita tak mendengar suara
itu, tentu sangat mudah menjelaskan bagaimana mental kejiwaan kelas pembayar
pajak ini.
Tapi tentu kita tak boleh terus
terbenam dalam pesimisme. Mumpungisme dan mediokrasi elit memang telah
mengurung demokrasi kita dalam kepicikan, karena itulah politik akal sehat
harus segera diaktifkan, dengan begitu yang kita pedulikan adalah arah pikiran
generasi ke depan, bukan hanya arah politik hari – hari ini. Hal ini menjadi
wajib karena demokrasi tidak hanya hidup dari politik hari ini, tapi dari
pikiran yang melampaui kondisi kekinian.
Karena
itulah, kita harus segera membangun kurikulum "kewarganegaraan" dalam
semua jenjang pendidikan nasional. Ini menjadi sangat penting karena
kewarganegaraan dapat mewujudkan percakapan diantara mereka yang tidak fanatik.
Terlebih setelah konsep masyarakat di dalam kurikulum sekolah tidak diajarkan
sebagai tanggung jawab merawat hidup bersama. Konsep etika publik tidak diajarkan
sebagai keutamaan kehidupan bermasyarakat. Karena itu jangan heran jika kita
melihat bahwa masyarakat kita begitu mudah tersulut konflik, rajutan karpet
kebangsaan mulai robek disana – sini, ajakan persatuan dan kesatuan oleh elit
seolah angin lalu yang tak perlu digubris.
Berangkat dari kondisi itulah kita
memahami bahwa ide republik bukan semata-mata sebagai instalasi politik teknis,
tetapi sebagai struktur percakapan etis. Di dalam Republik-lah manusia
menyelenggarakan dirinya sebagai "zoon politicon", merundingkan
kepentingan bersama, memutuskan keadilan dan mendistribusikan kebutuhan dasar.
Proses ini mengandaikan kebebasan dan kesetaraan. Itulah sifat publik dari
politik.
Kita memelihara republik, karena
hanya dalam ruang politik itulah pikiran individu memperoleh kesempatan untuk
diperiksa secara publik. Kita memelihara republik karena kita ingin hidup dalam
kesetaraan, kemajemukan dan keadilan. Marilah merawat republik dengan mengaktifkan
politik akal sehat, agar kita dapat tidur nyenyak sepanjang malam, agar esok pagi
dalam pemilu kita dapat memilih ide, bukan benda.
No comments:
Post a Comment