Tapi lihatlah wajah kalian hari ini. Bukan wajah
anak – anak, karena kehilangan senyum, dan belum juga dewasa karena tak ada
kemandirian. Itulah hasil dari sistem pendidikan kita, pendidikan yang hanya
memastikan kita taat, patuh, dan agak naïf. Tak ada tawa, tak ada sinisme, dan
yang ada hanya wajah beku tanpa perasaan. Wajah yang hanya menyiratkan
kekhawatiran. Khawatir tak dapat kerja usai kuliah, khawatir jika kuliah tak
dapat nilai bagus, atau khawatir tidak bisa lanjut kuliah karena biaya.
Khawatir adalah ekspresi dari jiwa kerdil yang suka ditindas.
Kini selepas SMA, kalian adalah mahasiswa.
Golongan yang dipuja habis – habisan. Katanya mahasiswa itu agen perubahan. Tak
ada perubahan di negeri ini yang terjadi tanpa campur tangan mahasiswa. Dulu
ada mahasiswa yang diculik, ditahan, dibunuh hingga dibuang. Heroisme mereka
jadi kebanggaan. Tak salah jika orang berpendapat bahwa kehidupan mahasiswa
berkisah antara buku, pesta, dan cinta.
Kampus telah menyulap semua kesedihan jadi rasa riang.
Tapi hari ini kalian mengikatkan diri pada
kehidupan kampus yang memiliki tradisi pendidikan buram. Lihatlah mahasiswa
yang ramai, riang dan gempita kalau di ruang kelas. Dalam ruang kuliah mereka
jadi umat yang diam, lembek dan penuh keraguan. Kerumunan banyak peserta kuliah
seperti lebah yang tak menggigit. Mereka berpenampilan menawan tapi tidak punya
pemikiran tangguh. Pendidikan kita hanya menginginkan yang terbaik, seolah
tidak memberikan tempat untuk mereka yang gagal. Pendidikan tiba – tiba punya
kemauan untuk melahirkan malaikat, bukan manusia. Sungguh cita – cita yang
kejam.
Kita bersekolah hanya dihadapkan pada bilangan
demi bilangan. Padahal ilmu paling bermasalah di Republik ini adalah membaca,
menulis, dan berorganisasi. Membaca membuat kita mengenal dunia, menulis akan
mengenalkan siapa kita sebenarnya, dan berorganisasi akan mendidik kita makna
kebersamaan. Tapi ketiga hal penting itu seolah lenyap. Padahal itulah esensi
pendidikan, latihan untuk melakukan koreksi, menghasut pertanyaan, dan
melahirkan tata perubahan yang baru.
Kampus akan menemukan makna terdalamnya jika
kebebasan organisasi dijamin, dan kebebasan intelektual dijaga. Kita pernah
menjumpai masa itu ketika pendidikan melahirkan Soekarno yang menyatukan
Indonesia. Dari pendidikan kita juga menjumpai pemuda yang tertib dan saleh,
Hatta. Juga tampil pria budiman tapi bersahaja bernama Sjahrir. Muncul juga
pemuda nekad bernama Amir Sjariffudin. Atau Tan Malaka yang mengajarkan arti
penting anti-kolonialisme. Mereka mungkin tak terlalu rajin masuk kelas, tapi
mereka berhimpun dalam blok – blok politik. Karena mahasiswa bernyali baja
seperti merekalah kampus menemukan makna terdalamnya. Soekarno, Hatta, Sjahrir,
Amir, dan Tan menjadi mahasiswa bukan untuk mencari pekerjaan, tapi mereka
membuat pekerjaan untuk Negara yang hendak mereka bangun.
Kita kini punya peluang untuk mengikuti mereka.
Sjahrir nekat tak menyelesaikan studi karena ingin memerdekakan Hindia Belanda.
Mereka bukan kumpulan para penakut. Yang menaati semua peraturan tanpa tahu
maksud dan tujuannya. Mereka bukan pula anak muda yang begitu kagum dengan
nilai atau sebaliknya terlalu mengerdilkan makna belajar. Mereka memang ada
yang tidak berhasil menjadi sarjana, tapi mereka lulus ujian kehidupan :
memerdekakan negeri ini. Jadi, kampus akan membuktikan siapa diri kalian
sebenarnya : anak penakut yang selalu khawatir akan masa depannya sehingga
mengikuti apa saja yang dinyatakan, atau anak pemberani yang merasa bahwa tugas
mahasiswa adalah penggerak akal sehat dan akal-budi. Saya berdoa, semoga yang
kedua menjadi alasan yang menyebabkan kalian patut tinggal di kampus ini.
No comments:
Post a Comment