Thursday, October 18, 2012

Kampus

Kalian yang menyandang gelar mahasiswa pada hari ini sesungguhnya adalah golongan yang beruntung, beruntung karena uang orang tua kalian bisa mengongkosi sumbangan gedung, sumbangan sukarela, dan bentuk sumbangan lainnya. Dan juga beruntung karena kalian bisa lulus dari ujian nasional.
                      
Tapi lihatlah wajah kalian hari ini. Bukan wajah anak – anak, karena kehilangan senyum, dan belum juga dewasa karena tak ada kemandirian. Itulah hasil dari sistem pendidikan kita, pendidikan yang hanya memastikan kita taat, patuh, dan agak naïf. Tak ada tawa, tak ada sinisme, dan yang ada hanya wajah beku tanpa perasaan. Wajah yang hanya menyiratkan kekhawatiran. Khawatir tak dapat kerja usai kuliah, khawatir jika kuliah tak dapat nilai bagus, atau khawatir tidak bisa lanjut kuliah karena biaya. Khawatir adalah ekspresi dari jiwa kerdil yang suka ditindas.
                      
Kini selepas SMA, kalian adalah mahasiswa. Golongan yang dipuja habis – habisan. Katanya mahasiswa itu agen perubahan. Tak ada perubahan di negeri ini yang terjadi tanpa campur tangan mahasiswa. Dulu ada mahasiswa yang diculik, ditahan, dibunuh hingga dibuang. Heroisme mereka jadi kebanggaan. Tak salah jika orang berpendapat bahwa kehidupan mahasiswa berkisah antara buku, pesta, dan cinta.  Kampus telah menyulap semua kesedihan jadi rasa riang.
          
Tapi hari ini kalian mengikatkan diri pada kehidupan kampus yang memiliki tradisi pendidikan buram. Lihatlah mahasiswa yang ramai, riang dan gempita kalau di ruang kelas. Dalam ruang kuliah mereka jadi umat yang diam, lembek dan penuh keraguan. Kerumunan banyak peserta kuliah seperti lebah yang tak menggigit. Mereka berpenampilan menawan tapi tidak punya pemikiran tangguh. Pendidikan kita hanya menginginkan yang terbaik, seolah tidak memberikan tempat untuk mereka yang gagal. Pendidikan tiba – tiba punya kemauan untuk melahirkan malaikat, bukan manusia. Sungguh cita – cita yang kejam.
                      
Kita bersekolah hanya dihadapkan pada bilangan demi bilangan. Padahal ilmu paling bermasalah di Republik ini adalah membaca, menulis, dan berorganisasi. Membaca membuat kita mengenal dunia, menulis akan mengenalkan siapa kita sebenarnya, dan berorganisasi akan mendidik kita makna kebersamaan. Tapi ketiga hal penting itu seolah lenyap. Padahal itulah esensi pendidikan, latihan untuk melakukan koreksi, menghasut pertanyaan, dan melahirkan tata perubahan yang baru.
                      
Kampus akan menemukan makna terdalamnya jika kebebasan organisasi dijamin, dan kebebasan intelektual dijaga. Kita pernah menjumpai masa itu ketika pendidikan melahirkan Soekarno yang menyatukan Indonesia. Dari pendidikan kita juga menjumpai pemuda yang tertib dan saleh, Hatta. Juga tampil pria budiman tapi bersahaja bernama Sjahrir. Muncul juga pemuda nekad bernama Amir Sjariffudin. Atau Tan Malaka yang mengajarkan arti penting anti-kolonialisme. Mereka mungkin tak terlalu rajin masuk kelas, tapi mereka berhimpun dalam blok – blok politik. Karena mahasiswa bernyali baja seperti merekalah kampus menemukan makna terdalamnya. Soekarno, Hatta, Sjahrir, Amir, dan Tan menjadi mahasiswa bukan untuk mencari pekerjaan, tapi mereka membuat pekerjaan untuk Negara yang hendak mereka bangun.
                      
Kita kini punya peluang untuk mengikuti mereka. Sjahrir nekat tak menyelesaikan studi karena ingin memerdekakan Hindia Belanda. Mereka bukan kumpulan para penakut. Yang menaati semua peraturan tanpa tahu maksud dan tujuannya. Mereka bukan pula anak muda yang begitu kagum dengan nilai atau sebaliknya terlalu mengerdilkan makna belajar. Mereka memang ada yang tidak berhasil menjadi sarjana, tapi mereka lulus ujian kehidupan : memerdekakan negeri ini. Jadi, kampus akan membuktikan siapa diri kalian sebenarnya : anak penakut yang selalu khawatir akan masa depannya sehingga mengikuti apa saja yang dinyatakan, atau anak pemberani yang merasa bahwa tugas mahasiswa adalah penggerak akal sehat dan akal-budi. Saya berdoa, semoga yang kedua menjadi alasan yang menyebabkan kalian patut tinggal di kampus ini.

No comments:

Post a Comment