Untuk
Joko Widodo,
Semenjak diberi mandat sebagai calon
Presiden dari PDIP, saya yakin hari-hari anda dipenuhi oleh pikiran-pikiran
baik bagi Republik. Hari jadi sibuk bagaimana memikirkan agar Anto dapat
sekolah, Andra dapat pekerjaan yang layak selepas lulus kuliah, atau memikirkan
Intan yang kebingungan karena harga kebutuhan pokok naik terus. Melelahkan
memang ketika harus merumuskan rencana baik bagi bangsa, berkampanye sekaligus
menangkal fitnah yang lebih sering tak masuk diakal. Mungkin itulah ujian yang
harus ditanggung bagi seorang calon pemimpin Republik.
Tentu banyak sekali yang harus diperhatikan
ketika menjadi pemimpin bangsa ini: meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus
pemerataan kesejahteraan, memberantas korupsi, reformasi birokrasi, penegakan
hukum, ketahanan nasional, dan masih banyak lagi. Namun, saya ingin mengajak
berbincang di surat ini tentang salah satu tugas penting yang harus dilakukan
seorang pemimpin, yaitu memenuhi rasa keadilan bagi korban kejahatan negara
masa lalu.
Rasa keadilan bagi korban, Mas
Jokowi, sangat penting untuk melepaskan diri kita dari perasaan marah dan
jengkel akan sejarah bangsa ini. Kemarahan pada masa lalu akan menggumpal
menjadi hantu sejarah yang akan selalu membayangi dan merusak peradaban
demokrasi kita. Tentu kita tak ingin, kegagalan kita menuntaskan kasus
pelanggaran hak asasi manusia masa lalu membuat kita terjebak keragu-raguan
dalam menjalankan demokrasi.
Bangsa ini sudah terlalu sering menggunakan
kekerasan untuk melindungi
kekuasaan, saya bisa sebutkan beberapa
contoh seperti pembantaian 1965/1966, kasus penembakan misterius (1982-1985),
kasus Talang Sari Lampung (1989), kasus
Wasior dan Wamena (2003), kemudian
rentetan peristiwa saat reformasi seperti kasus penculikan aktivis, penembakan
Trisakti, kerusuhan Mei 1998, serta kasus Semanggi I dan Semanggi II atau
beberapa kasus pembunuhan aktivis
seperti Theys Eluay (2001) dan Munir (2004). Rentetan kekerasan ini, Mas
Jokowi, mengambil ‘yang terbaik’ dari
para korban : Anak yang dibesarkan dengan cinta, suami yang hangat, istri yang
bersahabat, dan pertalian lain yang tak akan bisa dibeli dengan uang.
Dari sekian banyak kasus tersebut,
tak ada satupun yang diselesaikan secara komprehensif atau mungkin negara
selama ini memang tak peduli. Pak Untung, Mbak Sipon, Ibu Sumarsih, Mbak Suci,
dan beberapa korban lain yang berdiri tiap Kamis selama hampir delapan tahun di
depan Istana Negara hanya dianggap angin lalu. Mereka, Mas Jokowi, menitipkan harapan kepada anda
agar kelak ketika berkuasa mampu menghadirkan kelegaan batin bagi keluarga
korban.
Setiap pemimpin bangsa ini tidak
boleh melupakan atau bahkan mengajak rakyatnya untuk melupakan kekejaman masa
lalu. Pemimpin seperti Anda harus menanam benih harapan dengan kemudian
bertanggung jawab atas kekejaman tersebut karena menjadi seorang pemimpin
berarti menanggung semua beban sejarah entah itu manis ataupun pahit.
Memang selama ini sudah ada upaya
untuk menyelesaikan beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia, namun upaya
tersebut seolah menabrak tembok tebal. Awal Juni ini Kejaksaan Agung baru saja
mengembalikan tujuh berkas penyelidikan pelanggaran HAM masa lalu dari Komnas
HAM. Ini menandakan bahwa sampai saat ini
belum ada desain kelembagaan yang baik
untuk mendukung penuntasan pelanggaran HAM.
Mas Jokowi, tak ada warisan yang
lebih berharga yang ditinggalkan oleh seorang pemimpin demokratis selain sistem
kelembagaan yang baik. Selama ini Komnas
HAM hanya diatur melalui Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dengan kewenangan yang sangat terbatas padahal fungsi yang dimilikinya
merupakan fungsi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara modern, yaitu
memberikan perlindungan dan penegakan HAM. Komnas HAM, saya rasa, perlu
dibuatkan sebuah UU tersendiri untuk menghindari over lapping dengan lembaga lain.
Akan sangat menyenangkan jika dalam ancangan
Undang-undang baru tersebut diatur pula kewenangan penyidikan, sehingga tak
akan ada lagi proses prosedural yang berbelit dan menghambat keadilan bagi para
korban. Saat ini juga tak ada integrasi
lembaga negara yang terkait hak asasi manusia, perlu perluasan struktur Komnas
HAM yang dapat dilakukan dengan membentuk Dewan HAM yang terdiri terdiri atas
komisi-komisi, yaitu Komisi Hak Anak, Komisi Hak Perempuan, Komisi Hak Buruh,
Komisi Disabilitas, dan sebagainya.
Yang tak kalah penting adalah
dukungan politik dari Anda untuk berada di garda depan membela korban karena
para pelaku tentunya memiliki back up
politik dan ekonomi. Investasi warga dalam mendukung Anda jauh lebih besar
dibanding kelompok-kelompok oligarki yang punya rekam jejak buruk.
Anda kelak juga harus dapat membuka
ruang bagi para korban untuk bersuara lantang dengan mengingat hal-hal apa saja
yang sudah terjadi dan memastikan tak akan terulang lagi pada generasi
berikutnya dengan membuat catatan sejarah yang adil, komprehensif, dan dapat
diakses secara bebas, kemudian memutuskan restitusi, kompensasi, atau hukuman
yang harus dijatuhkan kepada para pelaku.
Mas Jokowi, melegakan batin para
korban juga berarti mencabut duri dalam daging demokrasi kita. Penyelesaian
kasus pelanggaran HAM masa lalu memang kerja berat bagi seorang pemimpin karena
tak akan selesai oleh hiruk-pikuk retorika politis semata. Kepemimpinan Anda
menentukan cerah-tidaknya masa depan negeri ini.
Terima
kasih.
No comments:
Post a Comment