Thursday, October 16, 2014

Mencabut Duri Dalam Daging

Untuk Joko  Widodo,
            
Semenjak diberi mandat sebagai calon Presiden dari PDIP, saya yakin hari-hari anda dipenuhi oleh pikiran-pikiran baik bagi Republik. Hari jadi sibuk bagaimana memikirkan agar Anto dapat sekolah, Andra dapat pekerjaan yang layak selepas lulus kuliah, atau memikirkan Intan yang kebingungan karena harga kebutuhan pokok naik terus. Melelahkan memang ketika harus merumuskan rencana baik bagi bangsa, berkampanye sekaligus menangkal fitnah yang lebih sering tak masuk diakal. Mungkin itulah ujian yang harus ditanggung bagi seorang calon pemimpin Republik.
            
Tentu banyak sekali yang harus diperhatikan ketika menjadi pemimpin bangsa ini: meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan kesejahteraan, memberantas korupsi, reformasi birokrasi, penegakan hukum, ketahanan nasional, dan masih banyak lagi. Namun, saya ingin mengajak berbincang di surat ini tentang salah satu tugas penting yang harus dilakukan seorang pemimpin, yaitu memenuhi rasa keadilan bagi korban kejahatan negara masa lalu.
            
Rasa keadilan bagi korban, Mas Jokowi, sangat penting untuk melepaskan diri kita dari perasaan marah dan jengkel akan sejarah bangsa ini. Kemarahan pada masa lalu akan menggumpal menjadi hantu sejarah yang akan selalu membayangi dan merusak peradaban demokrasi kita. Tentu kita tak ingin, kegagalan kita menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu membuat kita terjebak keragu-raguan dalam menjalankan demokrasi.
            
Bangsa ini sudah terlalu sering menggunakan  kekerasan untuk melindungi kekuasaan,  saya bisa sebutkan beberapa contoh seperti pembantaian 1965/1966, kasus penembakan misterius (1982-1985), kasus Talang Sari Lampung (1989),  kasus Wasior dan Wamena (2003),  kemudian rentetan peristiwa saat reformasi seperti kasus penculikan aktivis, penembakan Trisakti, kerusuhan Mei 1998, serta kasus Semanggi I dan Semanggi II atau beberapa  kasus pembunuhan aktivis seperti Theys Eluay (2001) dan Munir (2004). Rentetan kekerasan ini, Mas Jokowi,  mengambil ‘yang terbaik’ dari para korban : Anak yang dibesarkan dengan cinta, suami yang hangat, istri yang bersahabat, dan pertalian lain yang tak akan bisa dibeli dengan uang.
            
Dari sekian banyak kasus tersebut, tak ada satupun yang diselesaikan secara komprehensif atau mungkin negara selama ini memang tak peduli. Pak Untung, Mbak Sipon, Ibu Sumarsih, Mbak Suci, dan beberapa korban lain yang berdiri tiap Kamis selama hampir delapan tahun di depan Istana Negara hanya dianggap angin lalu. Mereka,  Mas Jokowi, menitipkan harapan kepada anda agar kelak ketika berkuasa mampu menghadirkan kelegaan batin bagi keluarga korban.
            
Setiap pemimpin bangsa ini tidak boleh melupakan atau bahkan mengajak rakyatnya untuk melupakan kekejaman masa lalu. Pemimpin seperti Anda harus menanam benih harapan dengan kemudian bertanggung jawab atas kekejaman tersebut karena menjadi seorang pemimpin berarti menanggung semua beban sejarah entah itu manis ataupun pahit.
            
Memang selama ini sudah ada upaya untuk menyelesaikan beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia, namun upaya tersebut seolah menabrak tembok tebal. Awal Juni ini Kejaksaan Agung baru saja mengembalikan tujuh berkas penyelidikan pelanggaran HAM masa lalu dari Komnas HAM. Ini menandakan bahwa sampai saat  ini belum ada desain kelembagaan yang  baik untuk mendukung penuntasan pelanggaran HAM.
            
Mas Jokowi, tak ada warisan yang lebih berharga yang ditinggalkan oleh seorang pemimpin demokratis selain sistem kelembagaan yang  baik. Selama ini Komnas HAM hanya diatur melalui Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dengan kewenangan yang sangat terbatas padahal fungsi yang dimilikinya merupakan fungsi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara modern, yaitu memberikan perlindungan dan penegakan HAM. Komnas HAM, saya rasa, perlu dibuatkan sebuah UU tersendiri untuk menghindari over lapping dengan lembaga lain.
           
Akan sangat menyenangkan jika dalam ancangan Undang-undang baru tersebut diatur pula kewenangan penyidikan, sehingga tak akan ada lagi proses prosedural yang berbelit dan menghambat keadilan bagi para korban.  Saat ini juga tak ada integrasi lembaga negara yang terkait hak asasi manusia, perlu perluasan struktur Komnas HAM yang dapat dilakukan dengan membentuk Dewan HAM yang terdiri terdiri atas komisi-komisi, yaitu Komisi Hak Anak, Komisi Hak Perempuan, Komisi Hak Buruh, Komisi Disabilitas, dan sebagainya.
            
Yang tak kalah penting adalah dukungan politik dari Anda untuk berada di garda depan membela korban karena para pelaku tentunya memiliki back up politik dan ekonomi. Investasi warga dalam mendukung Anda jauh lebih besar dibanding kelompok-kelompok oligarki yang punya rekam jejak buruk.
            
Anda kelak juga harus dapat membuka ruang bagi para korban untuk bersuara lantang dengan mengingat hal-hal apa saja yang sudah terjadi dan memastikan tak akan terulang lagi pada generasi berikutnya dengan membuat catatan sejarah yang adil, komprehensif, dan dapat diakses secara bebas, kemudian memutuskan restitusi, kompensasi, atau hukuman yang harus dijatuhkan kepada para pelaku.
            
Mas Jokowi, melegakan batin para korban juga berarti mencabut duri dalam daging demokrasi kita. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu memang kerja berat bagi seorang pemimpin karena tak akan selesai oleh hiruk-pikuk retorika politis semata. Kepemimpinan Anda menentukan cerah-tidaknya masa depan negeri ini.


Terima kasih. 

No comments:

Post a Comment