Friday, May 23, 2014

Menjaga Demokrasi

Pemilu 2014 kian dekat. Pertarungan politik bahkan sudah dimulai, paling tidak pertarungan psikologis antar-elite politik. Partai – partai sudah menyusun agenda. Sebagian telah siap. Sebagian lain masih perlu berkonsolidasi. Partai mana yang paling berpeluang. Semua masih tanda tanya. Masing-masing memiliki konstituen tradisionalnya sendiri-sendiri. Namun, peralihan suara masih terbuka. Sejarah memang sarat dengan kejutan dan patahan.

Hajatan tiap lima tahun sekali ini memberi indikasi bahwa politik seperti buah, ia memiliki musimnya sendiri. Menjelang pemilu, orang pun ramai – ramai berpolitik. Sebagian berpolitik secara terbuka, sebagian tertutup. Ada yang membangun partai politik, ada juga yang sekedar indekos di partai politik. Komoditas politik yang ditawarkan beraneka ragam, mulai dari agama, integritas, nasionalisme sampai ekonomi kerakyatan. Politik pun direduksi hanya jadi urusan menang-kalah dan melupakan hal yang paling mendasar dalam demokrasi : partisipasi publik.

Riuhnya nuansa politik praktis republik ini sudah mengaburkan apa yang sesungguhnya ingin dicapai melalui demokratisasi. Demokratisasi seolah hanya membawa kita pada nuansa yang penuh dengan fitnah, saling tuding dan menjatuhkan. Demokrasi kemudian digugat dan dituding sebagai biang keladi disharmoni. Demokrasi mengalami pemiskinan makna.

Demokrasi yang baru sebatas prosedural dapat terlihat dari ruang publik kita hari ini yang disesaki oleh  disparitas kekayaan, intoleransi, perilaku misoginis, korupsi dan arogansi politik yang merupakan ukuran sesungguhnya dari kesehatan peradaban sebuah bangsa. Demokrasi yang kita kelola sejak lima belas tahun lalu hanya mampu menghasilkan instalasi demokrasi, tanpa kecakapan berdemokrasi. Demokrasi kita hari ini bertubuh, namun tak beride.

Sebenarnya tak cukup sulit bagi kita untuk memahami demokrasi. Sederhana saja. Demokrasi menjamin bahwa kekuasaan tidak dieksekusi tanpa keterlibatan publik. Keterlibatan guna memastikan bahwa kekuasaan digunakan pada tempatnya dan bersandar pada prinsip-prinsip humanistis seperti kesetaraan, kebebasan, dan keadilan. Singkatnya, demokrasi adalah satu-satunya sistem yang mampu merajut jaring pengaman guna melindungi hak- hak dasar dari infiltrasi kekuasaan.

Kita memang telah memiliki instalasi demokrasi namun itu semua hanya menjamin apa yang kita sebut dengan democratic liberties. Yang dijamin dari democratic liberties adalah kebebasan berkespresi, berserikat, dan menjalankan syariat agama. Sementara yang kita butuhkan adalah democratic culture pada masyarakat kita. Demokrasi tanpa  budaya demokratis ibarat pelita tanpa minyak, rezim demokratis akan meredup akibat tak ada partisipasi warga negara.

Untuk mencapai budaya demokratis, kita memerlukan partisipasi warga negara. Dengan begitu warga negara tidak hanya dituntut untuk melibatkan diri secara politis. Melibatkan diri dalam hal ini tentu saja bukan hanya sekedar berpartisipasi dalam pemilu atau hanya sekedar membayar pajak, melainkan juga sebagai pengadil proses – proses politik serta partisipan aktif.  Dengan begitu, peluang warga negara untuk mempengaruhi proses – proses politik dapat terbuka lebar.

Sebelum menjadi partisipan aktif, haruslah dijamin terlebih dahulu kesetaraan diantara warga negara. Demokrasi cacat apabila satu atau beberapa kelompok masyarakat memiliki defisit peluang dalam mengartikulasikan keyakinannya dalam proses politik. Distribusi ekonomi yang pincang bisa jadi pemicunya, artikulasi gagasan di ruang publik hanya dikuasi mereka yang surplus modal.

Budaya demokratis merupakan sebuah struktur. Kebiasaan yang berulang dan menghasilkan pola yang dihayati bersama. Budaya demokratis tentu memiliki musuh, yaitu sikap feodalisme. Kultur yang menggantungkan segalanya pada kekuasaan dan serta merta mematikan inisiatif publik. Kultur inilah yang dibangun selama puluhan tahun oleh rezim Orde Baru memalui perangkat koersif ataupun ideologis.

Kultur feodalisme yang dibangun kelompok kekuasaan kemudian menyingkirkan kekuatan warga negara. Segala kebijakan adalah hasil perencanaan sepihak masyarakat politik dengan melulu memerhatikan kepentingan pemodal. Birokrasi pun berpikir jangka pendek. Bukan kepentingan masyarakat luas yang diperhatikan, melainkan kelompok kuat yang menjadi sandaran politiknya.

Ketika alat – alat kekuasaan tidak lagi merangsang kepentingan masyarakat luas, harapan kini tertumbuk melalui kekuatan partsipasi warga negara yang dibangun melalui kelompok masyarakat warga atau biasa disebut civil society. Kekuataan civil society memang berbingkaikan logika politik yang berbeda. Logika politik civil society adalah politik proteksionis. Bukan perebutan kekuasaan, tetapi perlindungan hak-hak dasar warga negara dari kesewenang-wenangan kekuasaan.

Fungsi-fungsi yang terabaikan oleh kekuasaan hari ini harus segera diambil alih oleh kelompok-kelompok civil society. Ketika kekuasaan menjadi fokus utama para elite politik, menjadi tugas kita untuk meningkatkan daya tawar publik terhadap kekuasaan. Ketika pendidikan politik partai tak lebih dari sekadar indoktrinasi ideologis. Menjadi tugas kita untuk mengadvokasi rakyat bagaimana berpolitik secara rasional.


Dan ketika kepentingan publik tak lagi terakomodasi, menjadi tugas civil society untuk merumuskan dan memperjuangkannya. Karena itu, civil society harus sungguh-sungguh bekerja dengan logika politik proteksionis. Ketika civil society terjebak politik praktis, sekadar menjadi kendaraan politik bagi para penjarah, masa depan demokrasi di negeri ini semakin suram saja.

No comments:

Post a Comment