Pemilu
2014 kian dekat. Pertarungan politik bahkan sudah dimulai, paling tidak
pertarungan psikologis antar-elite politik. Partai – partai sudah menyusun
agenda. Sebagian telah siap. Sebagian lain masih perlu berkonsolidasi. Partai
mana yang paling berpeluang. Semua masih tanda tanya. Masing-masing memiliki
konstituen tradisionalnya sendiri-sendiri. Namun, peralihan suara masih
terbuka. Sejarah memang sarat dengan kejutan dan patahan.
Hajatan
tiap lima tahun sekali ini memberi indikasi bahwa politik seperti buah, ia
memiliki musimnya sendiri. Menjelang pemilu, orang pun ramai – ramai
berpolitik. Sebagian berpolitik secara terbuka, sebagian tertutup. Ada yang
membangun partai politik, ada juga yang sekedar indekos di partai politik. Komoditas
politik yang ditawarkan beraneka ragam, mulai dari agama, integritas,
nasionalisme sampai ekonomi kerakyatan. Politik pun direduksi hanya jadi urusan
menang-kalah dan melupakan hal yang paling mendasar dalam demokrasi : partisipasi
publik.
Riuhnya
nuansa politik praktis republik ini sudah mengaburkan apa yang sesungguhnya
ingin dicapai melalui demokratisasi. Demokratisasi seolah hanya membawa kita
pada nuansa yang penuh dengan fitnah, saling tuding dan menjatuhkan. Demokrasi kemudian
digugat dan dituding sebagai biang keladi disharmoni. Demokrasi mengalami
pemiskinan makna.
Demokrasi
yang baru sebatas prosedural dapat terlihat dari ruang publik kita hari ini
yang disesaki oleh disparitas
kekayaan, intoleransi, perilaku misoginis, korupsi dan arogansi politik yang
merupakan ukuran sesungguhnya dari kesehatan peradaban sebuah bangsa. Demokrasi
yang kita kelola sejak lima belas tahun lalu hanya mampu menghasilkan instalasi
demokrasi, tanpa kecakapan berdemokrasi. Demokrasi kita hari ini bertubuh,
namun tak beride.
Sebenarnya
tak cukup sulit bagi kita untuk memahami demokrasi. Sederhana saja. Demokrasi
menjamin bahwa kekuasaan tidak dieksekusi tanpa keterlibatan publik.
Keterlibatan guna memastikan bahwa kekuasaan digunakan pada tempatnya dan
bersandar pada prinsip-prinsip humanistis seperti kesetaraan, kebebasan, dan
keadilan. Singkatnya, demokrasi adalah satu-satunya sistem yang mampu merajut
jaring pengaman guna melindungi hak- hak dasar dari infiltrasi kekuasaan.
Kita
memang telah memiliki instalasi demokrasi namun itu semua hanya menjamin apa
yang kita sebut dengan democratic
liberties. Yang dijamin dari democratic
liberties adalah kebebasan berkespresi, berserikat, dan menjalankan syariat
agama. Sementara yang kita butuhkan adalah democratic
culture pada masyarakat kita. Demokrasi tanpa budaya demokratis ibarat pelita tanpa minyak,
rezim demokratis akan meredup akibat tak ada partisipasi warga negara.
Untuk
mencapai budaya demokratis, kita memerlukan partisipasi warga negara. Dengan
begitu warga negara tidak hanya dituntut untuk melibatkan diri secara politis.
Melibatkan diri dalam hal ini tentu saja bukan hanya sekedar berpartisipasi
dalam pemilu atau hanya sekedar membayar pajak, melainkan juga sebagai pengadil
proses – proses politik serta partisipan aktif.
Dengan begitu, peluang warga negara untuk mempengaruhi proses – proses
politik dapat terbuka lebar.
Sebelum
menjadi partisipan aktif, haruslah dijamin terlebih dahulu kesetaraan diantara
warga negara. Demokrasi cacat apabila satu atau beberapa kelompok masyarakat
memiliki defisit peluang dalam mengartikulasikan keyakinannya dalam proses
politik. Distribusi ekonomi yang pincang bisa jadi pemicunya, artikulasi
gagasan di ruang publik hanya dikuasi mereka yang surplus modal.
Budaya
demokratis merupakan sebuah struktur. Kebiasaan yang berulang dan menghasilkan
pola yang dihayati bersama. Budaya demokratis tentu memiliki musuh, yaitu sikap
feodalisme. Kultur yang menggantungkan segalanya pada kekuasaan dan serta merta
mematikan inisiatif publik. Kultur inilah yang dibangun selama puluhan tahun
oleh rezim Orde Baru memalui perangkat koersif ataupun ideologis.
Kultur
feodalisme yang dibangun kelompok kekuasaan kemudian menyingkirkan kekuatan
warga negara. Segala kebijakan adalah hasil perencanaan sepihak masyarakat
politik dengan melulu memerhatikan kepentingan pemodal. Birokrasi pun berpikir
jangka pendek. Bukan kepentingan masyarakat luas yang diperhatikan, melainkan
kelompok kuat yang menjadi sandaran politiknya.
Ketika
alat – alat kekuasaan tidak lagi merangsang kepentingan masyarakat luas,
harapan kini tertumbuk melalui kekuatan partsipasi warga negara yang dibangun
melalui kelompok masyarakat warga atau biasa disebut civil society. Kekuataan civil
society memang berbingkaikan logika politik yang berbeda. Logika politik civil society adalah politik
proteksionis. Bukan perebutan kekuasaan, tetapi perlindungan hak-hak dasar
warga negara dari kesewenang-wenangan kekuasaan.
Fungsi-fungsi
yang terabaikan oleh kekuasaan hari ini harus segera diambil alih oleh
kelompok-kelompok civil society.
Ketika kekuasaan menjadi fokus utama para elite politik, menjadi tugas kita
untuk meningkatkan daya tawar publik terhadap kekuasaan. Ketika pendidikan
politik partai tak lebih dari sekadar indoktrinasi ideologis. Menjadi tugas kita
untuk mengadvokasi rakyat bagaimana berpolitik secara rasional.
Dan
ketika kepentingan publik tak lagi terakomodasi, menjadi tugas civil society untuk merumuskan dan
memperjuangkannya. Karena itu, civil
society harus sungguh-sungguh bekerja dengan logika politik proteksionis.
Ketika civil society terjebak politik
praktis, sekadar menjadi kendaraan politik bagi para penjarah, masa depan
demokrasi di negeri ini semakin suram saja.
No comments:
Post a Comment