Reformasi telah lewat, perubahan besar itu terjadi 13 tahun yang lalu namun hingga kini masih menyisakan luka sejarah yang dalam terutama bagi mereka yang hilang, mungkin sebagian orang sudah lupa dengan Wiji Thukul, ia hilang dan tak pernah kembali, mungkin orang banyak sudah lupa akan kejadian itu, orang mungkin bahkan lupa ada nama itu, nama seorang yang diculik, terutama karena Wiji Thukul tak dikenal luas. Saya juga tak mengenalnya betul—dan memang tak harus mengenalnya betul.
Monday, August 29, 2011
Saturday, August 27, 2011
Yang Dulu Disembah
- - Kepada elite politik yang tengah memegang kekuasaan
Para elite politik yang tengah memegang kekuasaan, lihatlah: bangsa ini bukan sebuah dongeng.
Kita terdiri dari tubuh, jiwa, roh, tanah, dan air, dengan impian, fantasi, rasa kurang, bangga, hasrat punya harga diri, nafsu untuk jadi kaya dan bermartabat atau jadi orang sederhana saja. Kita manusia yang pandai mengekspresikan kebaikan hati, kepintaran, tapi juga ketololan dan kekejian. Kita menyimpan kekuatan otot dan juga rasa sakit dari cacingan sampai dengan flu burung. Kita bukan peri.
Sunday, August 21, 2011
Nasionalisme
Desember 1817, Thomas Matulessy, atau yang lebih flamboyan dengan sebutan Kapitan Pattimura, digantung di benteng Victoria, ia menggadaikan jiwanya untuk sebuah harapan : “Indonesia Merdeka”
Terkadang saya berpikir, apa gerangan yang ada dalam pikiran Kapitan Pattimura beberapa saat sebelum digantung. Kadang-kadang saya ingin membayangkan, ia menyebut nama ”Indonesia” di bibirnya, atau ”Indonesia merdeka”, tapi tentu saja ini satu imajinasi klise, dan sebab itu tiap kali muncul cepat-cepat saya stop. Bukan mustahil ia ketakutan di depan algojo pasukan pendudukan Belanda itu. Atau ia pasrah? Yang agaknya pasti, beberapa puluh menit, atau beberapa puluh detik kemudian, seluruh ketakutan (atau sikap pasrah, atau jangan-jangan kecongkakan yang tampil seperti keberanian) pun punah: Tali itu membekap lehernya. Jantung berhenti berdetak, ia roboh, tak akan pernah berjuang lagi.
Tuesday, August 16, 2011
Pram
Mungkin hampir 13 tahun yang lalu, nama Pramoedya Ananta Toer diucap dengan berbisik, di tangan rezim itu, Pram dihabisi, diberangus, dan dikebiri. Pram, satu satunya calon peraih nobel sastra dari Indonesia ini hilang selama 18 tahun, dia dipenjara oleh tiga rezim, Rezim Kolonialisme Belanda, Orde Lama, dan Orde Baru. Ia menjadi tahanan politik, merasakan dinginnya tembok Nusakambangan, dan menyandang gelar “Tahanan Politik” di Pulau Buru, semua itu tanpa keadilan, tanpa pengadilan.
Friday, August 12, 2011
Soe Hok Gie
Soe Hok Gie, saya dengar nama ini pertama kali pertengahan tahun 2008 dari perbincangan antara kakak saya dan temannya di beranda rumah kami. Tidak terlalu menarik, Soe Hok Gie, atau yang kemudian lebih terkenal dengan sapaan Gie bukanlah seorang tokoh “superstar” Republik macam Bung Karno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, H.O.S Tjokroaminoto, atau bahkan tokoh PKI Dipa Nusantara Aidit yang malang melintang di buku pelajaran sekolah. Gie tidak terlalu menarik bagi saya, dia kalah oleh zona nyaman yang saya miliki saat itu.
Subscribe to:
Posts (Atom)