Monday, August 29, 2011

Yang Hilang

Reformasi telah lewat, perubahan besar  itu terjadi 13 tahun yang lalu namun hingga kini masih menyisakan luka sejarah yang dalam terutama bagi mereka yang hilang, mungkin sebagian orang sudah lupa dengan Wiji Thukul, ia hilang dan tak pernah kembali, mungkin orang banyak sudah lupa akan kejadian itu, orang mungkin bahkan lupa ada nama itu, nama seorang yang diculik, terutama karena Wiji Thukul tak dikenal luas. Saya juga tak mengenalnya betul—dan memang tak harus mengenalnya betul.


Baru kemudian saya ketahui Wiji Thukul lahir di Solo, Jawa Tengah 26 Agustus 1963, anak pertama dari tiga bersaudara, tinggal di sebuah perkampungan miskin di Solo yang mayoritas orangnya bekerja sebagai buruh, tukang becak, kuli rendahan, dan orang-orang yang bekerja serabutan, yang tidak pernah diperhitungkan oleh para penguasa. Bapaknya sendiri bekerja sebagai pengemudi becak. Thukul sendiri adalah seorang yang bekerja serabutan. Pernah bekerja sebagai loper Koran, calo karcis bioskop dan menjadi tukang pelitur di perusahaan mebel. Selebihnya tak ada lagi informasi. Disebuah pameran puisi karya Wiji Thukul, seorang sejarawan pernah mengatakan ”Menulis tentang Wiji Thukul bukanlah hal yang mudah. Banyak sekali aktivitas politiknya yang dilakukan secara rahasia dan tersembunyi….”

Wiji Thukul adalah pejuang HAM yang tumbuh dan ditempa ironi hidupnya sendiri, ia tak pernah belajar arti kebebasan ataupun kemerdekaan, kehidupan keraslah yang membuat dirinya bermetafor. Wiji Thukul adalah seorang seniman, ia mengikuti sanggar teater dan juga menulis. Ia sangat gemar menulis puisi, namun puisinya sungguh tak indah, puisinya tak membawa kedamaian, puisinya adalah sebuah protes yang lugas dan tegas dari sebuah raelita sosial yang ada dihadapannya, ia menulis karena ingin mendidik generasi setelahnya untuk kiritis atas segala yang terjadi dihadapannya.

Dengan puisinya ia bersuara akan ketidakadlan yang dialami orang – orang pinggiran, ia begitu berani, dengan kata – kata sederhana ia mengumpulkan makna yang teguh, puisinya seperti sebuah litani atas pengekangan yang terus terjadi seperti pada  sajak “Peringatan”

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang 
Suara dibungkam 
Kritik dilarang tanpa alasan 
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan 
Maka hanya ada satu kata: Lawan !

Sebuah perasaan berontak yang memuncak, itulah yang tergambar dari sajak “Peringatan”, ia sadar siapa yang harus dilawan dan yang paling bertanggung jawab atas semua keterpasungan hidup ini, tapi perlawanan itu tak mudah karena ia harus berhubungan dengan lingkaran yang lebih luas. Waktu itu kalangan pergerakan perlu membentuk jaringan, bahkan front bersama, secara pelan-pelan. Soeharto terlampau kuat, dan Wiji Thukul bersama teman – temannya  hanya sekelompok aktivis dengan jangkauan terbatas. Di luar berbagai gerakan pro-demokrasi bergerak, diam-diam atau terbuka, dan saling mendukung, tapi tak ada front persatuan untuk perlawanan.

Selebihnya gagu. Soeharto berhasil menundukkan Indonesia dengan cara yang efisien: menyebarkan ketakutan. Rezim itu punya modal teror yang amat cukup, setelah pada 1965-66 puluhan ribu orang dibunuh, dibui, dan dibuang. Dalam keadaan itu, membentuk kerja sama dengan kalangan lain dalam pergerakan pro-demokrasi perlu didahului dengan mematahkan teror itu.

Dengan menjajal keberanian yang ada itulah Wiji Thukul meleburkan diri dengan Persatuan Rakyat Demokratik (PRD). Gerakan bersama menentang rezim Soeharto, akhirnya menemukan salurannya ketika terjadi konflik internal di Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1996. Pro Soeryadi yang didukung oleh pemerintah, militer dan para pengusaha membuat kongres tandingan untuk menjegal Megawati yang naik sebagai Ketua PDI. Massa pendukung Megawati protes dan membuat aksi-aksi di Kantor PDI. Aksi ini didukung oleh tokoh-tokoh oposisi. Pada tanggal 27 Juli 1996, aksi ini diserbu oleh preman yang didukung aparat, yang menimbulkan reaksi sehingga terjadi kerusuhan. PRD dituduh oleh pemerintah sebagai dalang kerusuhan yang berlanjut pada perburuan dan penangkapan terhadap tokoh-tokoh PRD  yang dilakukan oleh Tim Mawar dari Kopassus yang dipimpin oleh Prabowo Subianto.

Dan benar para tokoh PRD itu tertangkap. Atau lebih tepat, diculik, Andi Arief, Faisol Reza, Waluyo Jati, Mugianto, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Wiji Thukul —semua aktivis PRD yang diangkut dengan paksa, dalam mobil yang tertutup rapat, dengan mata yang diikat, dan dimasukkan ke dalam tempat yang disebut para tokoh PRD itu sebagai ”kuil penyiksaan Orde Baru”.

Sebagian mereka kemudian dilepas. Tapi Wiji Thukul dan sebagian lain tidak, ia lenyap tak pernah kembali . . .

Tak ada alasan untuk tak menduga mereka dibunuh. Setidaknya mati dalam penyiksaan. Nezar Patria pernah menggambarkan bagaimana tentara Soeharto menganiaya mereka: pada satu bagian dari interogasi, kepalanya dijungkirkan. Listrik pun menyengat dari paha sampai dada. ”Allahu akbar!” ia berteriak. Tapi mulutnya diinjak. Darah mengucur lagi. Satu setruman di dada membuat napasnya putus. Tersengal-sengal.

Saya bayangkan Wiji Thukul di ruang itu. Mungkin ia lelap selamanya setelah tersengal-sengal. Mungkin ia langsung dibunuh. Yang pasti, ia tak pernah pulang. Para pejuang tentu sadar sejak awal resiko perjuangannya, dalam hati mereka telah terpatri untuk  ”tak berniat pulang, walau mati menanti”. Wiji Thukul sadar dalam batinnya yang paling dalam, ia harus melawan meskipun ia akan mati, tirani harus tumbang !

Bunga dan Tembok
Seumpama bunga kami adalah bunga yang tak kau kehendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun rumah dan merampas tanah

Seumpama bunga kami adalah bunga yang tak kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun jalan raya dan pagar besi

Seumpama bunga kami adalah bunga yang dirontokkan di bumi kami sendiri

Jika kami bunga, engkau adalah tembok
Tapi di tubuh tembok itu telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami . . .
Dimana pun –Tirani harus tumbang!
 
Widji Thukul, Solo ’87 – ‘88

No comments:

Post a Comment