Tuesday, August 16, 2011

Pram

Mungkin hampir  13 tahun yang lalu, nama Pramoedya Ananta Toer diucap dengan berbisik, di tangan rezim itu, Pram dihabisi, diberangus, dan dikebiri. Pram, satu satunya calon peraih nobel sastra dari Indonesia ini hilang selama 18 tahun, dia dipenjara oleh tiga rezim, Rezim Kolonialisme Belanda, Orde Lama, dan Orde Baru. Ia menjadi tahanan politik, merasakan dinginnya tembok Nusakambangan, dan menyandang gelar “Tahanan Politik” di Pulau Buru, semua itu tanpa keadilan, tanpa pengadilan.


Pram yang lahir pada 1952 di jantung Pulau Jawa, Blora, hidup dalam realitas kehidupan yang menyedihkan, ia miskin, namun realitas itulah yang menumbuhkan sebuah  rasa keberanian, atau lebih tepat ; “Rasa Keberanian yang gila”.  Pram, yang selama hidupnya begitu produktif menulis, sangat memahami apa artinya kemerdekaan, kebebasan, atau keberanian hidup, Pram lebih baik hidup berbalut dinginnya tembok penjara, daripada tunduk pada Bung Karno ataupun  Soeharto, "Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri” begitu kata Pram dalam karyanya  “Jejak Langkah” . Pram tak suka dikekang, Pram juga tak pernah takut gaya atau ide berfikirnya diberangus. Bagi Pram, ide memiliki “kehidupannya sendiri”, ide memiliki “kaki - kakinya” sendiri, ia akan bergerak kemana saja, tak ada yang bisa menghentikan. Oleh karena itulah, Pram kini menjadi sosok yang heroik, nyata, dan segar, Pram tak pernah kalah oleh zaman, karya – karyanya “berjalan” sendiri, mencari kehidupannya sendiri.

|||
Pulau Buru, mungkin itulah tempat yang begitu dicintai Pram, "Tetralogi Buru" (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca) adalah karya yang ia buat selama masa pembuangan di Pulau Buru. Seri novel yang mengisahkan tentang Minke, yang pada dasarnya adalah kisah hidup seorang jurnalis pribumi Indonesia pertama R.M. Tirto Adi Soerjo, itu pada awalnya dikisahkan secara lisan kepada sesama tahanan di Buru karena tidak adanya fasilitas alat tulis. Titik terang mulai muncul 10 tahun kemudian saat Pram yang selalu berada di bawah sorotan dunia internasional (yang karenanya membuat ia tidak mengalami siksaan seberat tahanan lain, meski gendang telinganya tetap rusak akibat siksaan aparat) mendapat sebuah mesin tik kiriman penulis Prancis Jean Paul Sartre. Namun, mesin tik yang masih baru itu sendiri tak pernah sampai ke tangannya, Angkatan Darat malah menggantinya dengan mesin tik bobrok, yang pitanya harus dibuat sendiri oleh para tahanan itu dengan bahan seadanya.

Karya Pram tidak hanya tetralogi Buru, Pram juga hadir dengan karyanya yang fenomenal, antara lain ; Nyanyi Sunyi seorang Bisu, Percikan Revolusi Subuh, Korupsi, atau yang cukup menohok adalah Gadis Pantai, sebuah karya yang menusuk feodalisme Jawa yang tak memiliki  adab dan jiwa kemanusiaan tepat di jantungnya yang paling dalam. Pram, dalam setiap tulisanya selalu menyadarkan kita, untuk selalu berani, apalagi jika kita seorang pemuda dari kaum terpelajar, "Mendapat upah kerena menyenangkan orang lain yang tidak punya persangkutan dengan kata hati sendiri, kan itu dalam seni namanya pelacuran?" Itulah gaya Pram menampar, halus, namun keras dan tepat.

Namun, Pram beruntung, dalam sebuah rezim yang ganas, karyanya dapat diselamatkan, namun ia tetap pantas mengatakan sebuah kata lirih "Karya saya sudah diterjemahkan ke dalam 36 bahasa, tapi saya tidak pernah dihargai di dalam negri”.  Lirih tentunya, Pram belum pernah datang ke Istana Negara, dia tidak pernah diberikan gelar tanda jasa macam Bintang Adipradana yang kemarin disematkan pada Ibu Negara kita, padahal manusia macam Pramoedya lebih berhak menerima gelar itu, dia berjuang dengan tangannya, tidak hanya lewat aksara, tapi konfrontasi langsung dengan penjajah, bukan dengan  lenggak – lenggok bertampang manis mendampingi seorang Presiden.

|||
Pram hidup dalam laku, ia fenomenal dan juga kontroversial, ia yang pada masa mudanya bergabung dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sayap kiri Partai Komunis Indonesia, yang “berkonfrontasi” dengan “teman” senimannya di Manifesto Kebudayaan, yang kemudian dipelintir dengan ejekan “Manikebu”. Golongan Manifes yang antara lain terdiri dari Mochtar Lubis dan Taufik Ismail membantah keras pernyataan Pram, yang menyatakan bahwa seni “harus” berisi kritik sosial, sementara kubu menifes menginginkan lebih dari itu, seni  tak harus kritik sosial, tapi lebih luas, seni berhak “membicarakan” langit, bumi, taman dan hal – hal yang bebas dari bau dan hiruk pikuk sosial.

Pram tentu memahami, di masa itu, kala Republik masih muda, diperlukan sebuah rasa sadar atau kepedulian yang hangat atas keberlangsungan Republik, dan tentunya budayawan sebagai punggawa bangsa harus menyuarakan kritiknya, demi kesejahteraan yang diimpikan, sebuah rezim keadilan sosial. Namun, bagi sebagian kalangan, hal itu adalah “reputasi gelap” Pram, mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada zaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.  

Dengan itu semua, Pram tak pernah gentar, ia sadar pada akhirnya ia akan sendirian. Sang radikal, yang ingin mengubah dunia tanpa jeda, tanpa kompromi, bergerak antara tampak dan tidak. Ia harus terus memperjuangkan sebuah keberanian, melawan orang – orang yang ingin menggadaikan Republik, "Kau mengabdi pada tanah ini, tanah yang memberimu nasi dan air. Tapi para raja dan para pengeran dan para bupati sudah jual tanah keramat ini pada Belanda. Kau hanya baru sampai melawan para raja, para pangeran, dan para bupati. Satu turunan tidak bakal selesai. Kalau para raja, pangeran, dan bupati sudah dikalahkan, baru kau bisa berhadapan pada Belanda. Entah berapa turunan lagi. Tapi kerja itu mesti dimulai” Pram benar, sendiri atau tidak, pekerjaan ini harus dimulai, oleh “kita”, yang berarti saya dan juga anda.

|||
Mungkin tidak semua orang seperti Pram, rela untuk dipenjara, tidak dihargai, dikeroyok di koran dan disingkirkan demi sebuah hal yang mistis, “Kepercayaan”. Pram mungkin sebuah legenda yang memang memikat. Tapi dalam pembebasan mereka yang hina dan lapar, sang pahlawan sebaiknya mati. Revolusi tak pernah sama dengan dongeng yang sempurna, meskipun ia percaya atas apa yang ia yakini, sebuah kebenaran hidup yang lurus. "Semua yang terjadi di bawah kolong langit adalah urusan setiap orang yang berpikir" itulah alasanya untuk terus peduli, hadir dan mencintai sebuah perpaduan antara darat dan samudera ; Tanah Air.  

Pram mungkin dapat tersenyum, ia sempat melihat rezim Soeharto ambruk, ia bebas dari keterpasungan, karya – karyanya tak perlu lagi dibaca dengan “diam”, Pram berhasil membuktikan perkataanya dulu “Biar sejarah yang membuktikan, aku atau penguasa yang benar !” . Namun Pram tetap manusia, ia dimakan zaman, ia ambruk dan berpulang pada 30 April 2006, dimakamkan dengan hikmat di Karet Bivak, dia tidak diantarkan dengan upacara militer layaknya pahlawan, Pram pergi dengan lagu Darah Juang dan Internationale yang dinyanyikan para pelayatnya, para penggemarnya . . . 


Bangunlah kaum yang terhina
Bangunlah kaum yang lapar
Kehendak yang mulia dalam dunia
Senantiasa bertambah besar
Bangkit dan melawan
Lenyapkan adat dan faham tua
Kita rakyat yg sadar, sadar
Dunia sudah berganti rupa
Untuk kemenangan kita
Perjuangan penghabisan . . . . .


No comments:

Post a Comment