Saturday, August 27, 2011

Yang Dulu Disembah

-                            -    Kepada elite politik yang tengah memegang kekuasaan


Para elite politik yang tengah memegang kekuasaan, lihatlah:  bangsa ini bukan sebuah dongeng.

Kita terdiri dari tubuh, jiwa, roh, tanah, dan air, dengan impian, fantasi, rasa kurang, bangga, hasrat punya harga diri, nafsu untuk jadi kaya dan bermartabat atau jadi orang sederhana saja. Kita manusia yang pandai mengekspresikan kebaikan hati, kepintaran, tapi juga ketololan dan kekejian. Kita menyimpan kekuatan otot dan juga rasa sakit dari cacingan sampai dengan flu burung. Kita bukan peri.


Lihatlah Indonesia dengan sebuah kearifan, tanpa kerakusan. Indonesia adalah sebuah hal yang besar, yang menyimpan banyak harapan dari ratusan jiwa manusia yang kemudian disebut sebagai “Rakyat”. Negara ini, wahai para elite politik yang tengah diliputi kenikmatan, telah melintasi sejarah panjang yang penuh dengan liku, perasaan terjajah, gagal merdeka, HAM terpasung, rasa takut, sentiment agama, bencana, semunya telah “mendatangi” bangsa ini.  

Akankah kalian ingin mengulangi apa yang dilakukan para jenderal yang dulu kehilangan kekuasaan ? Sebuah rasa egois yang menggiring bangsa ini kedalam zona gelap, tinta sejarah yang pekat. Hal itu semua karena para pendahulu kalian memperlakukan konstitusi kita – sebuah UUD 1945, seperti benda ajaib, padahal jelas, konstitusi kita bukan berasal dari dunia peri. Konstitusi kita yang dirumuskan oleh Bapak dan Ibu bangsa itu lahir dari sebuah ketidakjelasan yang mencari kepastian, bukan sebuah benda mistik yang harus disembah seperti dulu lagi, ia dapat dirubah dan direvisi lagi.

“Jangan sekali – kali kalian menyembah aksara!” Bung Karno mengingatkan dalam suatu waktu, penyembahan yang berlebihan terhadap konstitusi telah mengakibatkan sebuah petaka, 13 tahun lalu saat reformasi terjadi, saat dimana para penguasa dibutakan oleh sebuah kitab, mereka yang berbeda pendapat dengan penguasa diculik, kebebasan bersuara terenggut, dan konstitusi dijadikan senjata pamungkas untuk “membersihkan” orang – orang yang dianggap menyimpang.

Selama 32 tahun, konstitusi kita “mati”, anda tahu kenapa ? Konstitusi kita lahir dari sebuah momen, saat pasukan Jepang dipukul mundur oleh sekutu, mereka berkumpul untuk merumuskan “persiapan kemerdekaan” di sebuah gedung di Jakarta, dari momen itu lahir sebuah monument yang disebut konstitusi.

Sementara kita tahu, sebuah monument akan mati jika berhenti ditafsirkan, dan selama 32 tahun moment itu berhenti ditafsirkan.

Konstitusi sebagai sebuah monument tentu melintasi waktu panjang, namun selama itu ia tetap hadir dan mungkin berkembang, seperti halnya 17 Agustus 1945, hari itu hanya berlangsung selama 24 jam, tapi sampai saat ini di Indonesia tahun 2011, 17 Agustus 1945 masih tetap hadir, tumbuh, dan senantiasa hidup dalam setiap sanubari manusia Indonesia.

Wahai elite politik yang dipilih langsung oleh rakyat, undang – undang dasar adalah sebuah rasa dan harapan akan Indonesia yang belum selesai dari para perumusnya, oleh karena itu setiap undang – undang dapat disebut sebagai “undang – undang sementara” oleh karena itu terbuka ruang untuk melakukan revisi.

Kini di Indonesia tahun 2011 telah banyak terjadi perbuhan meskipun tak selalu sempurna, dengan rekaman kesalahan yang panjang, aksara itu sebagian diubah dengan drastis. Dalam amendemen yang telah berlaku kini, seorang presiden tak lagi dibiarkan terus-menerus berkuasa; kita telah melihat akibatnya di bawah Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Hak-hak asasi manusia dicantumkan dengan tegas, setelah begitu banyak manusia kalian bunuh dan penjarakan hanya karena berbeda pendapat dengan yang berkuasa. Diskriminasi rasial ditiadakan. Presiden dipilih langsung rakyat. Pemilihan umum berlangsung bebas. Genggaman sentralistis ke daerah praktis dilepaskan . . .

Para elite politik yang haus kekuasaan, tahu dirilah kalian! Darah yang mengalir di kampus Trisakti, di kampus Atmajaya, di berbagai petak jalan di seluruh Tanah Air, menunjukkan bahwa amendemen konstitusi itu juga datang bukan dari langit, melainkan dari marah dan kepedihan. Sekali lagi keadilan mengimbau, dan hari mengandung janji—dalam pergulatan yang bahkan lebih sengit ketimbang ketika UUD 45 dirumuskan di gedung yang tenang di Menteng yang nyaman, di Jakarta yang dijaga tentara Jepang. Jagalah dan hidupilah Konstitusi kita !

No comments:

Post a Comment