Sunday, October 23, 2011

Sebuah Nota Pendek

Ada sebuah kecurigaan atau rasa was was, ketika golongan hadir menjadi momok, ketika kebenaran menjadi sebuah pemburuan yang sulit. Kita curiga setiap ada pembicaraan, perkumpulan, atau mungkin pergerakan “Jangan – jangan itu organisasinya si Anu, jangan – jangan si Anu mau jadi Presiden BEM, jangan – jangan si Anu . . . . . ”



Kita tahu, tapi mungkin sebagian dari kita lupa . . .

Kita tak akan bisa menghabisi organisasi tersebut, puluhan kali kita caci, ratusan kali kita curigai, kita hanya akan menjadi pembenci. Mereka tidak bubar juga tidak akan berubah, meskipun hanya satu centi. Kita perlu membicarakan sesuatu hal yang lebih bermutu (bisa tentang sejarah, pemikiran, teater, musik, film, puisi atau kekolotan birokrat kampus) dari sekedar mencaci  organisasi – organisasi itu.

Masuk ataupun keluar organisasi adalah hal yang lumrah, lumrah disini seperti garam, jika terlalu asin kita kurangi, jika terlalu hambar kita tambahi. Seperti kata Gus Dur, kita berjalan menjelajah dan memperlakukan keyakinan ideologis sebagai obor yang terang, bukan sebagai benteng yang kaku. Dengan obor, kita bisa melihat sesuatu hal lain yang tak terlihat dari dalam benteng. Dengan ideologi yang seperti benteng, perlahan kita akan menjadi ‘Sang Fundamentalis’ – seperti Hitler yang menghabisi Yahudi, seperti Soekarno yang membubarkan PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan Masyumi.

Kita harus melihat individu sebagai agency, bukan atas perangkat baju resmi atau golongan. Untuk membuat pembicaraan yang enak dan produktif, kita harus merasa bahwa manusia adalah pribadi – pribadi yang merdeka. Bukan sebuah eksemplar dari sebuah himpunan. Bukan sebuah angka. Kita harus menghargai pikiran yang merdeka, yang tidak dikejar kejar, yang tak diusut dan diancam, sebuah pikiran yang tak dirasuki oleh kebencian, dan juga golongan. 

Kita butuh sebuah api lilin yang terang, yang diletakan di alam terbuka, bukan dalam tong. Terang, namun terkurung.

No comments:

Post a Comment