Kini, pemuda – pemuda yang tak
ikut memperjuangkan Demokrasi tengah linglung sambil sesekali mencaci, seolah –
olah berkata jijik pada demokrasi dan mengungkapkan rasa rindu pada rezim Jenderal
Soeharto. Mereka seolah menjadi perindu yang kelak akan terkenang sayu. Kita tak
perlu berteriak pada Demokrasi, seolah kita ikut melahirkan. Kini Demokrasi
telah lahir dan kita tinggal olah.
Demokrasi adalah Paradoks, ia
bersumber dari kehidupan manusia yang penuh cacat sehingga dapat diperbaiki dan
diregulasi setiap saat, dan bagi mereka yang menganggap demokrasi adalah
kehidupan yang tanpa cacat akan kecewa – mungkin diiringi dengan sedikit caci
dan maki. Demokrasi, karena ia dikendalikan oleh manusia – yang tak sempurna,
tak akan mencapai sebuah kehidupan yang tanpa cela, tapi dengan sebuah kompromi,
dimana keputusan tak diputuskan satu orang.
Dengan kompromi kita mungkin akan
dapat mencapai sebuah keputusan yang mencakup secara luas, dengan sudut pandang
yang tepat tapi tak terkurung, dan ini adalah hal yang sulit tercapai jika kita
menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada ‘Sang Fundamentalis’ seperti dalam
Leviathan karya Thomas Hobbes. Tapi kita perlu mafhum, saat kita berkompromi
kita akan mencapai titik dimana itu merupakan hal yang kotor atau mungkin tidak
sepenuhnya kotor.
Bahkan di parlemen terbaik pun,
kompromi selalu menghadirkan ‘bercak’. Karena kita tak hanya melihat mereka
berdebat, tapi juga saling elus atau sikut. Partai yang dulu saling memaki
namun pada saat saling membutuhkan akan menjilat ludah sendiri. Mereka, para
politisi tak lelahnya memasang wajah manis kadang juga galak sampai tiba
keputusan ditetapkan. Aku memberikan kamu Y dan kamu memberikan aku X, tentu
ada akal sehat dan rasa keadilan saat berkompromi. Tapi juga ada kepentingan,
yang tak selamanya bertujuan ‘baik’.
Demokrasi memang terkadang
seperti dagangan, ia bisa seperti omong kosong. “Kita harus belajar untuk
bagaimana tidak menjadi baik” itulah kata Machiavelli. Jika melihat itu, apakah
yang ‘baik’ itu telah hilang ? Tentu tidak ! Tapi dalam merumuskan ‘baik’ kita
harus sadar, di tengah hidup yang ramai, kesucian tak akan pernah bisa
terwujud. Yang penting adalah bagaimana kita menciptakan baik yang wajar, yang
tak hadir dengan culik dan tembak.
Jika kita menilik sejarah 1998, demokrasi
seolah keajaiban bagi mereka yang pernah kehilangan. Di tengah rezim yang
alergi kritik, pintu rumah anda bisa di ketuk tengah malam, dan anda hilang bagai
embun. Mereka yang pernah kehilangan masih takjub, kini orang dapat berbicara
dengan bebas tanpa takut akan dikunjungi aparat meskipun hal ini telah lewat
dari sepuluh tahun. Hal ini karena trauma, karena mereka pernah diinjak, pernah
ditindas. Dan, apabila terlalu rumit memahami demokrasi dengan segala merknya,
tanyalah pada rumput yang diinjak, pada mereka yang pernah ditindas.
Kini, setiap saya ragu akan
demokrasi. Saya selalu melihat, di Timur Tengah, orang siap berdarah dan mati
hanya untuk demokrasi.
No comments:
Post a Comment