Thursday, November 10, 2011

Demokrasi

Demokrasi adalah anak kandung dari reformasi, dia lahir dari proses persalinan yang sulit, dengan darah di kampus Trisakti, Atmajaya, dan berbagai sudut jalan Republik. Demokrasi melahirkan sebuah konstitusi yang mengatur kebebasan berpendapat, hak – hak individu terjamin, proses pemilihan langsung presiden  dan pergantian yang regular, dan berbagai hal yang melepaskan kita dari para Opsir Revolusi yang menjadi diktatoral. Tapi, setelah 12 tahun berjalan – mungkin tengah remaja, demokrasi mulai dipertanyakan.


Kini, pemuda – pemuda yang tak ikut memperjuangkan Demokrasi tengah linglung sambil sesekali mencaci, seolah – olah berkata jijik pada demokrasi dan mengungkapkan rasa rindu pada rezim Jenderal Soeharto. Mereka seolah menjadi perindu yang kelak akan terkenang sayu. Kita tak perlu berteriak pada Demokrasi, seolah kita ikut melahirkan. Kini Demokrasi telah lahir dan kita tinggal olah.

Demokrasi adalah Paradoks, ia bersumber dari kehidupan manusia yang penuh cacat sehingga dapat diperbaiki dan diregulasi setiap saat, dan bagi mereka yang menganggap demokrasi adalah kehidupan yang tanpa cacat akan kecewa – mungkin diiringi dengan sedikit caci dan maki. Demokrasi, karena ia dikendalikan oleh manusia – yang tak sempurna, tak akan mencapai sebuah kehidupan yang tanpa cela, tapi dengan sebuah kompromi, dimana keputusan tak diputuskan satu orang.

Dengan kompromi kita mungkin akan dapat mencapai sebuah keputusan yang mencakup secara luas, dengan sudut pandang yang tepat tapi tak terkurung, dan ini adalah hal yang sulit tercapai jika kita menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada ‘Sang Fundamentalis’ seperti dalam Leviathan karya Thomas Hobbes. Tapi kita perlu mafhum, saat kita berkompromi kita akan mencapai titik dimana itu merupakan hal yang kotor atau mungkin tidak sepenuhnya kotor.

Bahkan di parlemen terbaik pun, kompromi selalu menghadirkan ‘bercak’. Karena kita tak hanya melihat mereka berdebat, tapi juga saling elus atau sikut. Partai yang dulu saling memaki namun pada saat saling membutuhkan akan menjilat ludah sendiri. Mereka, para politisi tak lelahnya memasang wajah manis kadang juga galak sampai tiba keputusan ditetapkan. Aku memberikan kamu Y dan kamu memberikan aku X, tentu ada akal sehat dan rasa keadilan saat berkompromi. Tapi juga ada kepentingan, yang tak selamanya bertujuan ‘baik’.

Demokrasi memang terkadang seperti dagangan, ia bisa seperti omong kosong. “Kita harus belajar untuk bagaimana tidak menjadi baik” itulah kata Machiavelli. Jika melihat itu, apakah yang ‘baik’ itu telah hilang ? Tentu tidak ! Tapi dalam merumuskan ‘baik’ kita harus sadar, di tengah hidup yang ramai, kesucian tak akan pernah bisa terwujud. Yang penting adalah bagaimana kita menciptakan baik yang wajar, yang tak hadir dengan culik dan tembak.

Jika kita menilik sejarah 1998, demokrasi seolah keajaiban bagi mereka yang pernah kehilangan. Di tengah rezim yang alergi kritik, pintu rumah anda bisa di ketuk tengah malam, dan anda hilang bagai embun. Mereka yang pernah kehilangan masih takjub, kini orang dapat berbicara dengan bebas tanpa takut akan dikunjungi aparat meskipun hal ini telah lewat dari sepuluh tahun. Hal ini karena trauma, karena mereka pernah diinjak, pernah ditindas. Dan, apabila terlalu rumit memahami demokrasi dengan segala merknya, tanyalah pada rumput yang diinjak, pada mereka yang pernah ditindas.

Kini, setiap saya ragu akan demokrasi. Saya selalu melihat, di Timur Tengah, orang siap berdarah dan mati hanya untuk demokrasi.

No comments:

Post a Comment