Monday, November 14, 2011

Globalisasi, Pancasila, dan Yang Lainnya

Kita sekarang hidup di zaman yang makin menyadari kemajuan teknologi. Lalu lintas global dibiarkan menembus garis perbatasan Nasional. Pertama – tama meluasnya informasi, lalu pergeseran nilai sosial, modernitas, kemudian kemajuan yang mempengaruhi ekonomi Negara. Globalisasi yang tak terbendung, dan memang tak bisa dibendung ini menghasilkan kontradiksi. Ia telah menjadi sebuah kehidupan sosial baru yang tidak selamanya baik dan memang tidak sepenuhnya buruk.


Globalisasi yang menggila bisa ‘menakutkan’, ia bisa membuat kita menjadi begitu konsumtif, setiap tahun model mobil baru hadir dan kita selalu ingin membeli bahkan mengoleksi mobil itu, kesenjangan sosial makin tinggi, orang tak lagi peduli tentang macet akibat banyaknya mobil, sebuah pola hidup individualistik terbangun karena orang dapat mencaci dan memaki di jalan yang macet, mereka juga bisa diam atau acuh dalam macet yang dapat berarti tak peduli terhadap lingkungan sekitar. Ini konon pertanda runtuhnya sistem gotong royong ketimuran ala Indonesia yang telah ada sejak puluhan abad lalu dan ini juga kegagalan generasi muda untuk melestarikannya.

Tapi globalisasi dan terbukanya informasi masih menghadirkan harapan, kita tentu ingat saat kasus Prita yang dituntut karena curhat tentang buruknya layanan Rumah Sakit Omni International melalui surat elektronik, kita seolah bersepakat Ibu rumah tangga ini diperlakukan tak adil, maka muncullah gerakan progresif melalui dunia maya yang digalang oleh para user facebook dan para blogger yang menghasilkan sebuah gerakan sosial yang cukup dahsyat ‘Koin Untuk Prita’. Globalisasi berperan disini dan ini pertanda globalisasi dapat menjadi kehidupan sosial alternatif, karena di tengah makian saat macet kita masih punya saat untuk bersatu, setidaknya ketika kita mendukung Prita.            

Tapi apa yang baik atau tidak baik dalam era Globalisasi dan Informasi tetap menunjukan kesadaran zaman ini : ketidaksempurnaan adalah nasib manusia.

||||

Saya jadi teringat Pancasila, dulu ketika Bung Karno pada 1 Juni 1945 menyampaikan gagasan bahwa perlunya Indonesia mempunyai sebuah Weltanschauung :  sebuah pandangan tentang dunia dan kehidupan. Bung Karno sebetulnya tengah meniti jembatan persatuan dan fondasi mental bangsa yang kelak akan menjadi ‘dasar  filsafat’ bangsa Indonesia yang Bung Karno sebut sebagai philosophische grondslag (1)Tak hanya menjadi jembatan, ‘dasar filsafat’ ini kelak juga diharapkan dapat menjadi sebuah payung yang dapat menyatukan perbedaan Bangsa yang majemuk ini. Karena itulah, pancasila adalah filter terbaik bagi arus globalisasi yang 'menggila'.

Setelah Bung Karno jatuh dari kursi kekuasaan, nahkoda Republik berada di tangan Mayor Jenderal Soeharto. Di rezim ini, ada sebuah kecenderungan yang terus mengeras untuk menganggap Pancasila  sebagai suatu yang kokoh dan sempurna. Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto seolah takut pancasila bergesekan dengan ideologi lain misalnya dari golongan sayap kiri : Marxisme, Komunis, ataupun Sosialisme, golongan sayap kanan : Liberalis dan Kapitalis, atau golongan agamis yang menghendaki dibentuknya sebuah Negara Teokrasi yang berlandaskan iman. Padahal tak ada sebuah negara hidup yang tak mengandung ‘kawah Candradimuka’ yang ‘mendidih’ di mana berbagai ‘faham’ beradu di dalam badan perwakilannya ataupun generasi pemudanya. Tak ada sebuah negara yang dinamis kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya. Ketakutan memang terkadang menghadirkan kekerasan dan kesalahpahaman.

Setidaknya menurut hemat saya ada tiga kesalahan rezim itu dalam memandang kelima sila ini, yang pertama menempatkan pancasila pada posisi yang ‘keramat’, yang kedua menjadikan pancasila sebagai simbol eksklusif penguasa, dan yang ketiga adalah menjadikan pancasila sebagai alasan untuk menghalalkan kekerasan. Setelah rezim Orde Baru ini jatuh, pancasila seolah bernoda : ia tetap dikenang sebagai lambang penguasa.

Kesalahpahaman yang ditanamkan Orde Baru ini runtuh, setelah digebrak oleh para pemuda melalui ‘satu pukulan’ yang kita kenal dengan sebutan reformasi. Reformasi melahirkan konstitusi yang mengamanatkan demokrasi yang menganut asas keterbukaan informasi, yang membuka peluang bagi siapa saja, untuk mengungkapakan pendapatnya dan ide – ide kreatifnya. Seharusnya hal ini adalah lahan empuk bagi para pemuda yang kerap berpikiran segar untuk melakukan segala pembebasan untuk segala pemikiran yang kolot. Tapi yang terjadi justru pancasila yang berperan sebagai filter seolah 'kalah' dalam pertarungan dengan  globalisasi dan juga zona nyaman pemuda : pesta dan cinta.

Para pemuda harus bergerak cepat untuk menjadi seorang ‘Pancasilais’, karena di era globalisasi ini, kita tak butuh orang yang hanya hafal pancasila. Para pemuda perlu merumuskan sebuah pancasila yang diselaraskan dengan era keterbukaan informasi ini agar pancasila tak mudah tergerus oleh pelbagai nilai 'westernisasi'. Kita tak perlu takut untuk menyelaraskan pancasila dengan berbagai hal, karena tidak ada suatu hal yang ready for use, pancasila harus diolah dan diselaraskan lagi oleh kondisi saat ini karena pancasila bukan dogma.

Yang juga tampak dalam keterbukaan untuk kreatifitas itu adalah sifatnya yang tak bisa mutlak. Tiap sila mau tak mau harus diimbangi oleh sila yang lain : bangsa ini tak akan bisa hanya menjalankan sila keberagamaan (Ketuhanan Yang Maha Esa) tanpa juga diimbangi sila kesatuan bangsa  (Persatuan Indonesia), dan sebaliknya. Kita juga tak akan patut dan tak akan bisa bila kita ingin menerapkan sila nasionalisme tanpa diimbangi perikemanusiaan, dan begitulah seterusnya. Memutlakkan satu sila saja akan melahirkan kesewenangwenangan. Juga tak akan berhasil. Hidup begitu pelik. Masyarakat selalu merupakan bangunan dalam proses, hingga politik, dengan segala cacatanya, merupakan hal yang tak bisa dielakkan – bahkan tak bisa dihabisi oleh 100 tahun kekerasan.

Pengembangan pancasila di era informatika ini harus memanfaatkan nilai – nilai yang non-konvensional, kita bisa menggunakan media sosial di internet seperti facebook, twitter, youtube, blog, atau forum – forum internet. Ini terbukti dengan kasus Prita diatas, dan kita juga telah melihat proses demokrasi yang menjalar di timur tengah – Arab Spring, dimulai dari media sosial di internet. Pembudayaan pancasila pada pemuda untuk Indonesia ini juga harus dilandasi kajian ilmiah tentang pancasila yang empiris tidak hanya berdasarkan desas – desus, dogma atau bahkan dukun.

Kini, pemuda yang dalam sejarah memang kerap menjadi 'Opsir Revolusi' harus berkata lantang ke seluruh penjuru Negeri bahwa kita membutuhkan Pancasila kembali – tanpa mempersoalkan kesucian apalagi kesaktianya, kita perlu mengukuhkan sebuah ‘dasar filsafat’ yang manusiawi untuk mengatur betapa peliknya bermasyarakat ditengah derasnya arus globalisasi. Kita butuh Pancasila karena kita seolah telah kehabisan bahasa untuk menangkis ‘sikap individualistik’ dan ‘sok kebarat – baratan’ yang mengesampingkan cita – cita Indonesia yang justru penting : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
                

No comments:

Post a Comment