Wednesday, May 14, 2014

Penentu Demokrasi Kita

Momen mendebarkan baru saja usai, Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan bahwa pemenang Pemilu Legislatif 2014 adalah PDI-Perjuangan dengan total suara 18,95%. Dalam suasana menuju pendaftaran calon presiden pantaslah bagi kita untuk bertanya: apa yang terjadi jika pemilu yang mahal ini tidak menghasilkan pemimpin yang kita harapkan?


Perjalanan 16 tahun Reformasi memang telah menghasilkan banyak hal seperti institusionalisasi demokrasi, perluasan kebebasan masyarakat, dan pertumbuhan ekonomi yang tidak dapat dikatakan buruk. Namun, di balik itu semua masih banyak catatan hitam terkait penyelenggaraan demokratisasi selama ini terutama diabaikannya proses pemenuhan hak-hak korban kejahatan negara masa lalu seperti kasus 65/66, Talangsari,  Tanjung Priuk, hingga penculikan aktivis 97-98, kemudian pemerataan pembangunan, serta akses masyarakat miskin terhadap hak-hak hidup dasar seperti kesehatan dan  pendidikan.

Sampai hari ini tokoh-tokoh politik berdansa memperebutkan kekuasaan dengan menginjak-injak hak korban kejahatan negara. Rekonsiliasi korban jadi basa-basi politik elite. Itulah realitas yang diterima oleh keluarga yang kehilangan orang terkasihnya karena menjadi martir perubahan untuk membuka lorong demokrasi. Pemenuhan hak-hak korban kejahatan negara haruslah menjadi tiang pokok perjuangan demokrasi.

Memang ada yang tak tuntas dari demokratisasi kita selama 16 tahun, kita gagal menuntaskan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia. Kita memberi peluang orang-orang anti-demokrasi untuk kasak-kusuk guna menutup kebebasan kita.  Keragu-raguan kita membuat demokrasi mengalami pemiskinan makna. Demokratisasi seolah hanya membawa kita pada nuansa yang penuh dengan fitnah, saling tuding dan menjatuhkan. Demokrasi harus memastikan bahwa kekuasaan digunakan pada tempatnya dan bersandar pada prinsip-prinsip humanistis seperti kesetaraan, kebebasan, dan keadilan.

Kita membutuhkan pemimpin yang mampu menghadirkan kelegaan batin bagi para keluarga korban. Pemimpin baru kita harus memberikan jaminan untuk menyediakan catatan lengkap tentang kesalahan negara. Kejujuran negara mengakui kesalahan masa lalu akan membuka lembaran baru peradaban demokrasi kita selanjutnya. Dengan membuat catatan kesalahan negara, kita akan punya pedoman pengingat bahwa kebiadaban ini tak boleh terulang di masa depan. Tak boleh lagi ada Ibu yang kehilangan anak karena ia mengkritik negara atau Isteri yang kehilangan suami karena ia membela yang lemah. Tugas kita adalah memuliakan manusia.

Menuntaskan kasus kejahatan negara dengan memenuhi hak korban bukanlah sekedar agenda reformasi, atau hanya mencabut ‘duri dalam daging’ demokrasi kita. Tapi lebih dari itu, kita butuh pemimpin yang mampu menuntaskan itu semua untuk memberi tanda bahwa demokrasi yang kini kita tempuh adalah jalan terbaik untuk memuliakan martabat setiap manusia. Sehingga biaya triliunan rupiah untuk pemilu tak hilang ditiup angin. Inilah penentu hitam-putih demokrasi kita.

http://pamflet.or.id/blog/kenapa-sih-masih-perlu-ngomongin-reformasi

No comments:

Post a Comment